Browsing Category

Artikel

Albuquerque, 1957 Credit Garry WInogrand
Artikel, Biografi, Sejarah Fotografi, Street photography,

Biografi : Garry Winogrand

Garry Winogrand (14 Januari 1928 – 19 Maret 1984) adalah seorang fotografer jalanan Amerika dari Bronx, New York, yang dikenal karena karya-karya fotonya yang menggambarkan tentang kehidupan dan masalah sosial pada pertengahan abad ke-20 di Amerika Serikat.

Central Park Zoo, New York, 1967. © Garry Winogrand

Central Park Zoo, New York, 1967. © Garry Winogrand. Sumber : journals.openedition.org

Ia menerima tiga Beasiswa Guggenheim untuk mengerjakan proyek pribadi, beasiswa dari Endowment Nasional untuk Seni , dan menerbitkan empat buku selama masa hidupnya. Dia adalah salah satu dari tiga fotografer yang karyanya ditampilkan dalam pameran New Documents yang bergengsi di Museum of Modern Art di New York pada tahun 1967 dan mengadakan pameran tunggal di sana pada tahun 1969, 1977, dan 1988. Ia bekerja sebagai jurnalis lepas dan fotografer iklan pada 1950-an dan 1960-an, dan mengajar fotografi pada 1970-an. Foto-fotonya ditampilkan di majalah fotografi seperti Popular Photography, Eros, Contemporary Photographer, dan Photography Annual.

New York, 1955 © Garry Winogrand . Sumber : Artsy.net

New York, 1955 © Garry Winogrand . Sumber : Artsy.net

Kurator fotografi, sejarawan, dan kritikus John Szarkowski menyebut Winogrand sebagai fotografer berpengaruh di generasinya. Sean O’Hagan salah seorang penulis di The Guardian pada 2014, mengatakan “Pada 1960-an dan 70-an, ia mendefinisikan fotografi jalanan sebagai suatu sikap dan juga gaya dan itu telah ada pada bayanganya sejak saat itu . . .” Phil Coomes, menulis untuk BBC News pada tahun 2013, mengatakan “Bagi kita yang tertarik dengan fotografi jalanan ada beberapa nama yang menonjol dan salah satunya adalah Garry Winogrand, yang mana foto-fotonya di New York pada 1960-an mengandung suatu pelajaran di setiap bingkai.”

Pada saat kematiannya, karya Winogrand ada sekitar 2.500 gulungan film yang belum dicetak.

 

Kehidupan awal

Orang tua Winogrand, Abraham dan Bertha, beremigrasi ke AS dari Budapest dan Warsawa. Garry tumbuh bersama saudara perempuannya Stella di pemukiman buruh yang sebagian besar penghuninya adalah Yahudi dari Bronx dan New York, di mana ayahnya adalah seorang pekerja kulit di industri garmen, dan ibunya membuat dasi. Winogrand lulus Sekolah Menengah Atas pada tahun 1946 dan memasuki Angkatan Udara AS . Ia kembali ke New York pada tahun 1947 dan belajar melukis di City College of New York dan fotografi di Universitas Columbia , juga di New York, pada tahun 1948. Ia juga menghadiri kelas foto jurnalistik yang diajarkan oleh Alexey Brodovitch di The New School for Social Research (NSSR) di New York pada tahun 1951.

New York,1965 © Garry Winogrand . Sumber : Artsy.net

New York,1965 © Garry Winogrand . Sumber : Artsy.net

Winogrand menikah dengan Adrienne Lubeau pada tahun 1952. Mereka memiliki dua anak, Laurie pada tahun 1956 dan Ethan pada tahun 1958. Mereka pisah ranjang pada tahun 1963 dan bercerai pada tahun 1966.

Karir

Dia bekerja sebagai jurnalis foto lepas dan fotografer iklan pada 1950-an dan 1960-an. Antara 1952 dan 1954 ia lepas dengan agensi Penerbitan PIX di Manhattan atas pengantar dari Ed Feingersh , dan dari tahun 1954 di Brackman Associates.

Dua dari foto-foto Winogrand muncul dalam pameran The Family of Man 1955 di Museum of Modern Art (MoMA) di New York. Pertunjukan solo pertamanya diadakan di Image Gallery di New York pada tahun 1959. Pameran pertamanya yang terkenal adalah di Five Unrelated Photographer pada tahun 1963, juga di MoMA di New York, bersama dengan Minor White , George Krause , Jerome Liebling , dan Ken Heyman.

Pada 1960-an, ia memotret di New York City dengan Lee Friedlander dan Diane Arbus.

Pada tahun 1964, Winogrand dianugerahi Guggenheim Fellowship dari John Simon Guggenheim Memorial Foundation untuk melakukan tour “untuk studi fotografi tentang kehidupan Amerika”.

Pada 1966 ia membuat pameran di George Eastman House di Rochester, New York bersama Friedlander, Duane Michals , Bruce Davidson , dan Danny Lyon dalam sebuah pameran berjudul Toward a Social Landscape, yang dikuratori oleh Nathan Lyons . Pada tahun 1967 karyanya dimasukkan dalam pameran New Documents yang “influential” di MoMA New York dengan Diane Arbus dan Lee Friedlander, yang dikuratori oleh John Szarkowski.

Sekitar 1967, Winogrand menikahi istri keduanya, Judy Teller. Mereka bersama sampai 1969.

Foto-fotonya dari Kebun Binatang Bronx dan Coney Island Aquarium menghasilkan buku pertamanya The Animals (1969), kumpulan gambar yang mengamati hubungan antara manusia dan hewan.

Dia dianugerahi Guggenheim Fellowship kedua pada tahun 1969 untuk terus mengeksplorasi “efek media pada peristiwa”. Antara 1969 dan 1976 ia memotret di acara-acara publik, menghasilkan 6.500 cetakan untuk Papageorge untuk dipilih dan digunakan untuk pameran solonya di MoMA, dan untuk proyek buku Public Relations (1977).

Pada tahun 1972 ia menikahi Eileen Adele Hale, yang dengannya ia memiliki seorang putri, Melissa.

Peace Demonstration, Central Park, New York, 1970 © Garry Winogrand . Sumber : Artsy.net

Peace Demonstration, Central Park, New York, 1970 © Garry Winogrand . Sumber : Artsy.net

Pada 1970-an Winogrand memilih mengajar di New York. Ia pindah ke Chicago pada tahun 1971 dan mengajar fotografi di Institut Desain, Institut Teknologi Illinois antara tahun 1971 dan 1972. Ia pindah ke Texas pada tahun 1973 dan mengajar di Universitas Texas di Austin antara tahun 1973 dan 1978. Ia pindah ke Los Angeles pada tahun 1978, di mana ia mengekspos 8.522 gulungan film.

Pada tahun 1979 ia mendapatkan Guggenheim Fellowship ketiganya untuk melakukan perjalanan di seluruh Amerika Serikat bagian selatan dan barat untuk menyelidiki masalah sosial pada masanya.

Fort Worth, Texas, 1975 © Garry Winogrand . Sumber : Artsy.net

Fort Worth, Texas, 1975 © Garry Winogrand . Sumber : Artsy.net

Dalam bukunya Stock Photographs (1980) ia menunjukkan ” Bagaimana orang-orang dalam hubungan satu sama lain dengan hewan-hewan pertunjukan mereka” di Fort Worth Fat Stock Show dan Rodeo .

Szarkowski, Direktur Fotografi di MoMA New York, menjadi editor dan peninjau karya Winogrand. Szarkowski memanggilnya fotografer berpengaruh di generasinya.

Kematian dan warisan

Winogrand didiagnosis menderita kanker kandung empedu pada 1 Februari 1984 dan dirujuk ke Klinik Gerson di Tijuana , Meksiko, untuk mencari pengobatan alternatif (dengan biaya $ 6.000 per minggu pada 2016). Ia meninggal pada 19 Maret, di usia 56 tahun.

Pada saat kematiannya, pekerjaannya yang terakhir sebagian besar tidak diproses, sekitar 2.500 gulungan film yang belum dikembangkan, 6.500 gulungan dari paparan yang dikembangkan tetapi tidak terekspose. Total kurang lebih ia meninggalkan hampir 300.000 gambar yang belum diedit. Garry Winogrand Archive di Center for Creative Photography (CCP) terdiri dari lebih dari 20.000 cetakan, 20.000 contact sheets, 100.000 negatif film dan 30.500 35 mm slide warna serta beberapa cetakan Polaroid. Beberapa karyanya yang belum dikembangkan dipamerkan secara anumerta, dan diterbitkan oleh MoMA dalam ikhtisar karyanya Winogrand, Figments from the Real World (2003).

Pameran Museum of Modern Art di San Francisco

Pameran Museum of Modern Art di San Francisco , 2013. Sumber : Wikipedia.com

Namun masih banyak dari arsipnya yang sebagian besar belum diteliti dari awal hingga akhir, dan foto-fotonya yang terkenal, dimasukkan dalam pameran tur retrospektif yang dimulai pada 2013 dan di lampirkan dalam buku Garry Winogrand (2013). Fotografer Leo Rubinfien yang mengkurator retrospektif 2013 di Museum Seni Modern San Francisco merasa bahwa tujuan dari pertunjukannya adalah untuk mencari tahu, “… apakah Szarkowski benar tentang pekerjaan terakhir winogrand?” Szarkowski merasa bahwa karya terbaik Winogrand selesai pada awal 1970-an. Rubinfien berpikir, setelah memproduksi pameran di perkiraan bahwa Winogrand dalam kondisi terbaiknya dari tahun 1960 hingga 1964.

 

Garry Winogrand Sumber Wikipedia.com

Garry Winogrand Sumber : Wikipedia.com

 

 

Refrensi :

journals.openedition.org

theparisreview.org

nytimes.com

Arsy.net

wikipedia.com

 

henri_cartier_bresson
Artikel, Biografi, Sejarah Fotografi, Street photography,

Pendiri Magnum Photo : Henri Cartier Bresson

Henri Cartier Bresson (22 Agustus 1908 – 3 Agustus 2004) adalah seorang fotografer humanis Prancis yang dianggap sebagai master fotografi candid , dan pengguna awal film 35 mm . Dia memelopori genre fotografi jalanan , dan memandang fotografi sebagai momen yang menentukan.

Henri Cartier Bresson lahir di Chanteloup-en-Brie , Seine-et-Marne, Prancis, anak tertua dari lima bersaudara. Ayahnya adalah produsen tekstil yang kaya. Keluarga ibunya adalah pedagang kapas dan pemilik tanah dari Normandia , tempat Henri menghabiskan sebagian masa kecilnya. Keluarga Henri tinggal di lingkungan borjuis di Paris, Rue de Lisbonne, dekat Place de l’Europe dan Parc Monceau . Orang tuanya mendukungnya secara finansial sehingga Henri dapat mengejar fotografi lebih bebas daripada orang-orang disekitarnya. Selain fotografi Henri juga ahli membuat sketsa.

Henri muda awalnya suka mengabadikan moment liburan dengan kamera Brownie. Dia kemudian bereksperimen dengan 3 × 4 inch View Camera. Ia dibesarkan dengan gaya borjuis tradisional Prancis, dan ayahnya berasumsi bahwa Henri akan menjalankan bisnis keluarga, tetapi ternyata ia merasa tidak cocok dalam bidang tersebut.

Seni lukis

Setelah mencoba belajar musik, Cartier-Bresson diperkenalkan pada lukisan cat minyak oleh pamannya Louis, seorang pelukis berbakat. Tetapi pelajaran melukis tak berlangsung lama karena pamanya Louis terbunuh dalam Perang Dunia I.

Foto ini telah dipilih untuk buku Henri CARTIER-BRESSON oleh Ferdinando SCIANNA untuk diterbitkan oleh Sciardelli Publishers, Milan, September 1998. Sumber : wikipedia.com

Pada tahun 1927, Cartier-Bresson memasuki sekolah seni swasta dan Akademi Lhote, studio Paris dari pelukis dan pemahat Kubisme André Lhote . Ambisi Lhote adalah untuk mengintegrasikan pendekatan kaum Kubis ke realitas dengan bentuk artistik klasik, dia ingin menghubungkan tradisi klasik Prancis Nicolas Poussin dan Jacques-Louis David ke Modernisme . Cartier-Bresson juga belajar melukis dengan pelukis society portraitist Jacques Émile Blanche . Selama periode ini, ia membaca Dostoevsky , Schopenhauer , Rimbaud , Nietzsche , Mallarmé, Freud , Proust , Joyce , Hegel , Engels dan Marx . Lhote membawa murid-muridnya ke Louvre untuk belajar seni klasik dan ke galeri Paris untuk mempelajari seni kontemporer. Ketertarikan Cartier-Bresson pada seni modern digabungkan dengan kekaguman pada karya-karya para master Renaissance : Jan van Eyck , Paolo Uccello , Masaccio , Piero della Francesca . Cartier-Bresson menganggap Lhote sebagai gurunya dalam dunia “fotografi tanpa kamera.”

Pengaruh fotografi surealis

Meskipun Cartier-Bresson menjadi frustrasi dengan pendekatan Lhote yang “sarat aturan” terhadap seni, pelatihan teoretis yang ketat ternyata membantunya mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah artistik dan komposisi dalam fotografi. Pada 1920-an, sekolah-sekolah realisme fotografis bermunculan di seluruh Eropa tetapi masing-masing memiliki pandangan berbeda mengenai arah yang harus diambil dalam fotografi. Cartier-Bresson mulai bersosialisasi dengan para surealis di Café Cyrano, di Place Blanche. Dia bertemu sejumlah protagonis terkemuka, dan tertarik pada teknik gerakan surealis menggunakan alam bawah sadar dan langsung untuk di aplikasikan pada karya mereka. Sejarawan Peter Galassi menjelaskan:

“Para surealis mendekati fotografi dengan cara yang sama seperti Aragon dan Breton … mendekati jalan: dengan hasrat yang rakus akan hal-hal yang biasa dan tidak biasa … Para surealis mengakui dalam fakta fotografi yang gamblang sebuah kualitas esensial yang telah dikeluarkan dari teori-teori fotografi sebelumnya realisme. Mereka melihat bahwa foto-foto biasa, terutama ketika dicabut dari fungsi praktisnya, mengandung banyak makna yang tidak disengaja, yang tidak terduga.”

SPAIN. Valencia. 1933.Inside the sliding doors of the bullfight arena.

SPAIN. Valencia. 1933. © Henri Cartier-Bresson. Magnumphotos.com

Cartier-Bresson matang secara artistik dalam suasana politik dan budaya yang penuh gejolak ini. Tetapi, meskipun dia tahu konsepnya, dia tidak bisa mengungkapkannya; tidak puas dengan eksperimennya, ia menghancurkan sebagian besar lukisan awalnya.

Menerima kamera pertama

Pada tahun 1929, Seorang komandan skuadron udara menahan Henri di tahanan rumah karena hunting tanpa lisensi. Kemudian Henri bertemu dengan ekspatriat Amerika Harry Crosby di Le Bourget , yang membujuk komandan tersebut untuk membebaskan Cartier-Bresson ke tahanannya selama beberapa hari.

Keduanya tertarik pada fotografi, dan Harry memberi Henri kamera pertama. Mereka menghabiskan waktu bersama untuk mengambil dan mencetak foto di rumah Crosby, Le Moulin du Soleil (The Sun Mill), dekat Paris di Ermenonville , Prancis.

Terjun di dunia fotografi

Pada akhir 1931 Henri memperdalam hubungannya dengan kaum surealis di Marseille. Dia menjadi terinspirasi oleh sebuah foto tahun 1930 oleh jurnalis foto Hongaria Martin Munkacsi yang memperlihatkan tiga anak laki-laki Afrika telanjang, berlari ke permukaan Danau Tanganyika. Menurutnya foto itu menangkap kebebasan, keanggunan dan spontanitas gerakan mereka dan kegembiraan mereka yang terlihat hidup. Foto itu mengilhami dia untuk berhenti melukis dan serius memotret.

Three Boys at Lake Tanganyika, 1930. Wikipedia.com

Tiga anak laki-laki di Danau Tanganyika, 1930. Wikipedia.com

Dia memperoleh kamera Leica dengan lensa 50 mm di Marseilles yang menemaninya selama bertahun-tahun. Anonimitas yang diberikan kamera kecil kepadanya di tengah keramaian atau selama momen intim sangat penting dalam mengatasi perilaku formal dan tidak wajar dari mereka yang sadar difoto. Dia meningkatkan anonimitasnya dengan mengecat semua bagian mengkilap Leica dengan cat hitam.

Leica Pertama Henri cartier Bresson

Leica Pertama Henri cartier Bresson . Wikipedia.com

Foto-fotonya dipamerkan pertama kali di Julien Levy Gallery di New York pada tahun 1932, dan kemudian di Ateneo Club di Madrid. Pada tahun 1934 di Meksiko, ia berbagi pameran dengan Manuel Álvarez Bravo.

Pada tahun 1934, Cartier-Bresson bertemu dengan seorang intelektual muda Polandia, seorang fotografer bernama David Szymin yang dipanggil “Chim” karena namanya sulit diucapkan. Szymin kemudian mengubah namanya menjadi David Seymour. Keduanya memiliki banyak kesamaan budaya. Melalui Chim, Cartier-Bresson bertemu dengan seorang fotografer Hongaria bernama Endré Friedmann, yang kemudian mengubah namanya menjadi Robert Capa.

Pameran di Amerika Serikat

Cartier-Bresson melakukan perjalanan ke Amerika Serikat pada tahun 1935 dengan undangan untuk memamerkan karyanya di Julien Levy Gallery di New York. Dia berbagi ruang pamer dengan sesama fotografer Walker Evans dan Manuel Álvarez Bravo. Carmel Snow dari Harper’s Bazaar memberinya tugas fashion, tetapi ia bernasib buruk karena ia tidak tahu bagaimana mengarahkan atau berinteraksi dengan para model. Namun demikian, Snow adalah editor Amerika pertama yang menerbitkan foto-foto Cartier-Bresson di majalah. Sementara di New York, ia bertemu dengan fotografer Paul Strand , yang melakukan pemotretan untuk film dokumenter era Depresi The Plough That Broke the Plains .

Pembuatan film

Ketika dia kembali ke Prancis, Cartier-Bresson melamar pekerjaan dengan sutradara film terkenal Prancis Jean Renoir. Dia berakting dalam film Renoir tahun 1936 Partie de campagne dan dalam 1939 La Règle du jeu , yang dia mainkan sebagai kepala pelayan. Renoir membuat Cartier-Bresson mengerti bagaimana rasanya berada di sisi lain kamera.

La Règle du Jeu 1939 Cover

La Règle du Jeu 1939 Cover. wikipedia.com

Cartier-Bresson juga membantu Renoir membuat film untuk pesta Komunis tentang 200 keluarga, termasuk keluarganya, yang mengelola Prancis. Selama perang saudara Spanyol , Cartier-Bresson bersama-sama mengarahkan film anti-fasis dengan Herbert Kline , untuk mempromosikan layanan medis Republik.

Karir di dunia jurnalistik

Foto jurnalis foto pertama Cartier-Bresson diterbitkan pada tahun 1937 ketika ia meliput penobatan Raja George VI dan Ratu Elizabeth. Dia fokus pada subyek perayaan raja baru yang berbaris di jalan-jalan London, dan tidak mengambil gambar raja. Kredit fotonya terbaca “Cartier”, karena ia ragu-ragu untuk menggunakan nama lengkap keluarganya.

GB. London. Coronation of George VI. 12 Mei 1937. © Henri Cartier-Bresson. Magnumphotos.com

Pernikahan

Pada 1937, Cartier-Bresson menikah dengan seorang penari Jawa, kelahiran Batavia, Ratna Mohini. Mereka tinggal di Paris, rue Neuve-des-Petits-Champs (sekarang rue Danielle Casanova), sebuah studio besar dengan kamar tidur, dapur, dan kamar mandi kecil tempat Cartier-Bresson mengerjakan film. Antara 1937 dan 1939, Cartier-Bresson bekerja sebagai fotografer untuk surat kabar Komunis Prancis, Ce Soir. Bersama Chim dan Capa, Cartier-Bresson adalah orang kiri, tetapi ia tidak bergabung dengan partai Komunis Perancis.

ratna_mohini

Ratna Mohini. Sumber: Wikipedia.com

Perang Dunia II

Ketika Perang Dunia II pecah pada bulan September 1939, Cartier-Bresson bergabung dengan Tentara Prancis sebagai Kopral dalam unit Film dan Foto. Selama Pertempuran Prancis, pada Juni 1940 di St. Dié di Pegunungan Vosges, ia ditangkap oleh tentara Jerman dan menghabiskan 35 bulan di kamp-kamp tawanan perang untuk kerja paksa di bawah Nazi. Dia dua kali mencoba dan gagal melarikan diri dari kamp penjara, dan dihukum dengan kurungan tersendiri. Pelarian ketiganya berhasil dan dia bersembunyi di sebuah pertanian di Touraine sebelum mendapatkan dokumen palsu yang memungkinkannya untuk melakukan perjalanan di Prancis. Di Prancis, ia bekerja di bawah tanah, membantu pelarian lain dan bekerja secara diam-diam dengan fotografer lain untuk meliput penjajahan di Prancis. Pada tahun 1943, ia menggali kamera Leica kesayangannya, yang telah ia kubur di tanah pertanian dekat Vosges. Pada akhir perang ia diminta oleh Kantor Informasi Perang Amerika untuk membuat film dokumenter, Le Retour (Kembalinya) tentang pengembalian tahanan Prancis dan orang-orang terlantar.

Menjelang akhir Perang, desas-desus telah mencapai Amerika bahwa Cartier-Bresson telah terbunuh. Filmnya tentang pengungsi perang yang kembali (dirilis di Amerika Serikat pada tahun 1947) memacu retrospektif karyanya di Museum Seni Modern (MoMA) alih-alih acara anumerta yang telah disiapkan MoMA. Acara debutnya pada tahun 1947 bersama dengan penerbitan buku pertamanya, The Photographs of Henri Cartier-Bresson. Ditulis oleh Lincoln Kirstein dan Beaumont Newhall.

Kelahiran Magnum Photo

Pada awal 1947, Cartier-Bresson, bersama Robert Capa, David Seymour, William Vandivert dan George Rodger mendirikan Magnum Photos. Gagasan Capa, Magnum adalah agen gambar kooperatif yang dimiliki oleh para anggotanya. Tim membagi tugas foto di antara anggota. Rodger, yang telah keluar dari Life di London setelah meliput Perang Dunia II, akan meliput Afrika dan Timur Tengah. Chim, yang berbicara berbagai bahasa Eropa, akan bekerja di Eropa. Cartier-Bresson akan ditugaskan ke India dan Cina. Vandivert, yang juga meninggalkan Life, akan bekerja di Amerika, dan Capa akan bekerja di mana saja yang memiliki tugas. Maria Eisner mengelola kantor Paris dan Rita Vandivert, istri Vandivert, mengelola kantor New York dan menjadi presiden pertama Magnum.

A Cartier-Bresson picture taken in Shanghai

Foto Karya Cartier-Bresson yang diambil di Shanghai, 1948, menunjukkan orang-orang menyerbu sebuah bank untuk emas sebelum pasukan Komunis tiba. © Henri Cartier-Bresson, Fondation Henri Cartier-Bresson, Museum of Modern Art

Cartier-Bresson memperoleh pengakuan internasional atas liputannya tentang pemakaman Gandhi di India pada 1948 dan akhir Perang Sipil Cina pada 1949. Ia meliput enam bulan terakhir pemerintahan Kuomintang dan enam bulan pertama Republik Rakyat Maois. Dia juga memotret kasim Kekaisaran terakhir yang masih hidup di Beijing, saat kota itu jatuh ke tangan kaum komunis. Di Shanghai, ia sering bekerja di perusahaan jurnalis foto Sam Tata , yang sebelumnya berteman dengan Cartier-Bresson di Bombay. Dari Cina, ia pergi ke Hindia Belanda (Indonesia), di mana ia mendokumentasikan perolehan kemerdekaan dari Belanda. Pada tahun 1950, Cartier-Bresson telah melakukan perjalanan ke India Selatan. Dia telah mengunjungi Tiruvannamalai, sebuah kota di Negara Bagian Tamil Nadu di India dan memotret saat-saat terakhir Ramana Maharishi, Sri Ramana Ashram dan sekitarnya. Beberapa hari kemudian ia juga mengunjungi dan memotret Sri Aurobindo, Ibu dan Sri Aurobindo Ashram, Pondicherry.

 

GANDHI

INDIA. Delhi. Birla House. 1948. GANDHI menentukan sebuah pesan, tepat sebelum berbuka puasa. Credit Henri Cartier Bresson. magnumphotos.com

Misi Magnum adalah untuk “merasakan denyut nadi” zaman dan beberapa proyek pertamanya adalah Orang – orang yang Hidup di seluruh dunia, Pemuda Dunia, Wanita Dunia dan Generasi Muda. Magnum bertujuan untuk menggunakan fotografi dalam pelayanan kemanusiaan, dan memberikan potret yang menarik dan harapnya dilihat banyak orang diseluruh dunia.

The Decisive Moment

Pada tahun 1952, Cartier-Bresson menerbitkan bukunya Images à la sauvette, yang edisi bahasa Inggrisnya berjudul The Decisive Moment, meskipun judul bahasa Prancis sebenarnya diterjemahkan sebagai “gambar secara diam-diam” atau “gambar yang diambil dengan tergesa-gesa”, Foto-foto dalam buku à la sauvette terdapat 126 karya fotonya dari Timur dan Barat. Sampul buku itu dibuat oleh Henri Matisse. Untuk kata pengantar filosofis 4.500 kata, Cartier-Bresson mengambil teks utamanya dari abad ke-17 Kardinal de Retz.

SPAIN. Madrid. 1933.

SPAIN. Madrid. 1933. © Henri Cartier-Bresson. Magnumphotos.com

“Fotografi tidak seperti lukisan, ada sepersekian detik kreatifitas ketika Anda mengambil foto. Mata Anda harus melihat komposisi atau ekspresi yang ditawarkan oleh kehidupan itu sendiri kepada Anda, dan Anda harus tahu dengan intuisi kapan harus mengklik kamera. Itulah saat fotografer kreatif, “katanya. “Oop! Momennya! Begitu kamu melewatkannya, itu akan hilang selamanya.” kata Cartier-Bresson kepada Washington Post pada tahun 1957.

FRANCE. Paris. Place de l’Europe. Gare Saint Lazare. 1932. © Henri Cartier-Bresson, Magnumphotos.com

Cartier-Bresson membuat pameran pertamanya di Prancis di Pavillon de Marsan di Louvre pada tahun 1955.

Later career

Fotografi Cartier-Bresson membawanya ke banyak tempat, termasuk Cina, Meksiko, Kanada, Amerika Serikat, India, Jepang, dan Uni Soviet. Dia menjadi fotografer Barat pertama yang memotret “Bebas” di Uni Soviet pasca-perang.

SOVIET UNION. Russia. Young Pioneer camp

SOVIET UNION. Russia. Young Pioneer camp dekat Moscow. 1954. © Henri Cartier-Bresson, Magnumphotos.com

Pada tahun 1962, atas nama Vogue, ia pergi ke Sardinia selama sekitar dua puluh hari. Di sana ia mengunjungi Nuoro, Oliena, Orgosolo Mamoiada Desulo, Orosei, Cala Gonone, Orani (di-host oleh temannya Costantino Nivola ), San Leonardo di Siete Fuentes, dan Cagliari.

Cartier-Bresson mengundurkan diri sebagai kepala sekolah Magnum (yang masih mendistribusikan foto-fotonya) pada tahun 1966 untuk berkonsentrasi pada potret dan lanskap.

Pada 1967, ia bercerai dari istri pertamanya selama 30 tahun, Ratna “Elie”. Pada tahun 1968, ia mulai berpaling dari fotografi dan kembali ke hasratnya untuk menggambar dan melukis. Dia mengakui bahwa mungkin dia telah mengatakan semua yang dia bisa melalui fotografi. Dia menikah dengan fotografer Magnum Martine Franck, tiga puluh tahun lebih muda dari dirinya, pada tahun 1970. Pasangan ini memiliki seorang putri, Mélanie, pada Mei 1972.

Henri and Martine © Andre Kertesz, 1980.

Henri and Martine © Andre Kertesz, 1980. Sumber : henricartierbresson.org

Cartier-Bresson pensiun dari fotografi pada awal 1970-an, dan pada 1975 tidak lagi mengambil gambar selain potret pribadi sesekali. Henri bilang dia menyimpan kameranya di brankas di rumahnya dan jarang mengeluarkannya. Ia kembali melukis, menggunakan pensil, pena dan tinta. Dia mengadakan pameran gambar pertamanya di Galeri Carlton di New York pada tahun 1975.

Kematian dan warisan

Cartier-Bresson meninggal di Céreste ( Alpes-de-Haute-Provence , Prancis) pada 3 Agustus 2004, pada usia 95. Tidak ada penyebab kematian yang diumumkan. Dia dimakamkan di pemakaman lokal di Montjustin.

Cartier-Bresson menghabiskan lebih dari tiga dekade untuk tugas seumur hidup dan jurnal-jurnal lainnya. Dia melakukan perjalanan tanpa batas, mendokumentasikan beberapa pergolakan besar abad ke-20 – perang saudara Spanyol, pembebasan Paris pada tahun 1944, pemberontakan mahasiswa 1968 di Paris, jatuhnya Kuomintang di Tiongkok ke komunis, pembunuhan Mahatma Gandhi, Tembok Berlin, dan gurun pasir Mesir. Dan di sepanjang jalan dia berhenti untuk mendokumentasikan potret Camus , Picasso , Colette , Matisse , Pound dan Giacometti . Tetapi banyak dari foto-fotonya yang paling terkenal, seperti Behind the Gare St. Lazare, adalah momen yang tampaknya tidak penting dalam kehidupan sehari-hari.

INDONESIA. Bali. 1949.

INDONESIA. Bali. 1949. © Henri Cartier-Bresson, Magnumphotos.com

Cartier-Bresson tidak suka difoto dan menghargai privasinya. Foto-foto Cartier-Bresson tidak banyak. Ketika ia menerima gelar kehormatan dari Universitas Oxford pada tahun 1975, ia memegang kertas di depan wajahnya untuk menghindari difoto. Dalam sebuah wawancara dengan Charlie Rose pada tahun 2000, Cartier-Bresson mencatat bahwa ia tidak perlu benci untuk difoto, tetapi ia merasa malu dengan gagasan difoto karena terkenal.

Cartier-Bresson percaya bahwa apa yang terjadi di bawah permukaan bukan urusan siapa-siapa selain miliknya sendiri. Dia ingat bahwa dia pernah menceritakan rahasianya yang paling dalam kepada seorang sopir taksi Paris, yakin bahwa dia tidak akan pernah bertemu pria itu lagi.

Pada tahun 2003, ia menciptakan Henri Cartier-Bresson Foundation di Paris bersama istrinya, fotografer Belgia Martine Franck dan putrinya untuk melestarikan dan berbagi warisannya. Pada tahun 2018, yayasan tersebut pindah dari distrik Montparnasse ke Le Marais.

Henri-cartier-bresson

Henri Cartier Bresson. Sumber : nytimes.com

 

Sumber :

Nytimes.com : Henri Cartier Bresson Photography

Nytimes.com : Cartier

Wikipedia.com

© Galih Rudianto
Artikel, Interview, Sharing,

Galih Rudianto : Realita Kamera Analog Di Era Digital

Halo mang Galih, gimana kabarnya nih mang? dan bagaimanakah kabar Bandung dan dunia fotografinya mang?

Halo mas, baik alhamdulillah kabar keluarga dan teman-teman di Semarang baik kan?

hmm… Kalau dunia fotografi di bandung berjalan seperti biasanya, beautyshot masih banyak di gandrungi, street fotografi masih berjalan seperti biasanya.

 

© Galih Rudianto


© Galih Rudianto

 

Alhamdulillah saya dan Semarang baik mas hehe, Ngomong-ngomong masih sering motret mang?

Syukur kalau tetap pada keren mas. hehe

Kalau sering sih lagi turun-naik mood nya mas, soalnya kalau motret lagi tidak mood, tetap memaksakan jalan, suka berantakan, apalagi saya motret pake film malah jadinya buang-buang frame, jadi kalau saya di tanya, “masih sering motret?” mungkin jawabnya tergantung mood saya.

Bisa aja nih mang Galih haha, Sudah berapa lama mang Galih motret pake kamera analog/ film mang ?

Jam terbang yak wkwkw, klo motret sih dari jaman sekolah dulu cuman kalau lebih spesifik main film, kalau ga salahdari bulan september 2014.

Berarti sebelumnya pernah memakai kamera digital ya mang? gimana critanya sih mang kok tertarik dengan kamera film?

Iyaps, dulu pakainya digital D5100+50mm, kalau photowalk motret-nya banyak sampe dirumah capek sendiri kurasi file. hahaha
Belum edit belum sizing file di PC, semakin banyak akhirnya curhat nih sama senior fotografer di bandung, dia langsung memberi saran
“kalau kamu memang malas dasarnya, tapi tetap ingin motret, coba pake film, disitu kamu bisa tanggung jawab apa yg sudah kamu potret.”
Nah, dari situ perasaan ingin tahu tentang kamera film dan film nya mulai muncul, mulailah saya berburu kamera2 tua di loakan dengan cuman modal kepo. hehehe

 

© Galih Rudianto


© Galih Rudianto

 

Hal pertama yang mang galih rasakan apa, ketika awal transisi dari kamera digital ke kamera film? dan kalo boleh tahu kamera film pertama mang galih apa mang ?

Hal pertama yang saya rasakan saat transisi pasti adalah ingin cepat-cepat lihat hasil dari foto yg saya ambil dengan kamera film . Lucunya saat itu saya cuma pakai kamera Yashica GSN yang auto-nya mati otomatis speed shutter cuma 1/60 saja. Alhasil under exposure semua. hahaha

Roll film yang mang galih gunain pertama kali apa mang?

Kalau roll yang putus dan kebakar dihitung tidak? hahahaa.
Sebenernya roll pertama itu pakai Kodak Color Plus 200 tapi ditengah proses karena terlalu excited jadi putus. hahaha

Roll kedua pakai KCP juga dan pertama motret bareng fotoemperan waktu itu.

 

Nah, untuk developing film di era sekarang ini kesulitan tidak mang?

Develop film mungkin buat saya yang tinggal di Bandung, masih dibilang aman dan gampang. Tapi buat teman-teman yang lain yang pakai kamera film di luar kota yang pada dasarnya memang tidak ada lab di kotanya mungkin harus mempertimbangkan biaya cuci scan film.

Mungkin klo cuci BW bisa belajar, asal ada alat yang dipergunakan untuk proses film.
Untuk yang color soalnya tidak bisa di cuci sendiri dengan alat yg biasa di pakai buat cuci black and white.

 

© Galih Rudianto

 

Kenapa alat cuci black and white tidak bisa digunakan untuk mencuci color? Berarti cuci color black and white lebih simpel ya mang? Dan kalau boleh tahu, mang galih harus merogoh kocek berapa untuk develop satu roll film di lab?

Kenapa tidak bisa cuci color dengan alat rumahan, karena film warna suhunya harus sesuai dan ketika proses developing suhu harus stabil maka harus pakai mesin yang bisa membuat suhu tetap stabil.

Yap cuci black and white adalah yang paling wajib dipelajari kalau mau main fotografi dengan kamera film.

Sekarang rata-rata sama mau color atau black and white biaya buat cuci scan disekitar Rp. 50.000-an.
Untuk film ukuran 35mm kalau 120mm paling tambah Rp. 10.000 dari harga diatas.

Wah lumayan juga ya mang, dengan proses yang panjang dan kocek yang lumayan apa yang mang galih pertama rasakan mang?

Iya juga ya,hahaha. Mungkin hal dasar dari semua yg sudah saya lakukan, motret pake film adalah kepuasan batin saja mungkin mas, dan rasa tanggung jawab apa yang sudah saya take frame. Mau hasilnya under, over, shake, blur, missed, atau komposisi yang jelek sekalipun itu yang saya dapatkan. Face it, you cannot photograph!.
Dan d roll kedepannya harus lebih baik lagi biar tidak terbuang sia-sia uang yang sudah kita gunakan untuk membeli roll film.

 

© Galih Rudianto

© Galih Rudianto

 

Selama ini berarti dengan kamera film mang galih hanya untuk sekedar hobi ya mang, pernah tidak kefikiran ke ranah komersil? Possible tidak menurut mang galih dengan kamera film ke ranah itu?

Yap, saya motret cuma buat hobi saja mas. dan tidak ada niatan buat  sesuatu yang komersil dari kamera film saya.

Dan kalau possible, itu possible sekali kamera film dibawa ke ranah komersil. Ada kok teman yang motret komersil pakai kamera film. Kebanyakan prewed sama beauty shot, cuma kalau buat dokumentasi masih jarang pake film.

Jika kami perhatikan peminat kamera film dewasa ini malah semakin meningkat ya mang, terlihat dari komunitas-komintas kamera analog yang semakin banyak, bagaimana pendapat mang galih tentang itu?

Rame sih, beberapa bulan ke belakang penjualan film dan kamera nya meningkat drastis, dilihat dari segi harga per kamera yang di jual semakin kesini semakin mahal (demand-nya tinggi) dan karena kamera analog termasuk barang collectible jadi ga ada harga pasarannya,
“Mau ya beli, ga mampu yowis!”

Tapi masih banyak yang pakai kamera film dan tidak dibarengi sama knowledge tentang kamera film tersebut. Alih-alih cuma ikut tren dan akhirnya banyak keluhan-keluhan dari mereka.

Bicara masalah knowloedge , hal-hal apa saja yang wajib diketahui bagi pengguna kamera film/ analog mang?

Masalah dasar sekali sebenarnya ini, yaitu segitiga exposure kalau itu dikuasai pasti mau pake kamera apapun joss!.

 

© Galih Rudianto

© Galih Rudianto

 

Secara teknis penggunaan segitiga exposure di kamera analog perbedaan yang paling tampak mencolok dimana mang selain memang di analog serba manual?

Light metering yg paling jadi pembahasan utama kalau ada diskusi tentang film photography.
Karena kebanyakan kamera film manual itu sudah tua umurnya, maka terkadang jadi kurang sensitif terhadap perhitungan cahaya yang masuk ke lensa atau metering di kamera, maka ada kalanya kita harus pandai memanfaatkan alat yang lain (misal aplikasi light meter di HP atau light meter itu sendiri).

Kurang effisienya light metering tersebut apa itu tidak mengganggu kenyamanan mang galih dalam hunting foto mang ?

Kalau saya pribadi ya itu tadi ngakalin-nya pake app di HP sebelum motret. Light metering diusahakan dapet 18% grey, motret deh! Hahaha

Kalau masuk shadow tinggal kurangin speed atau diafragma kalau highlight berlimpah, vice aversa!

Tapi dulu pakai kamera yang kebetulan light meter-nya sedikit akurat jadi sedikit hafal kondisi cahaya kalau pake film tertentu.“Bisa karena terbiasa!.”

 

© Galih Rudianto

© Galih Rudianto

 

Maksud dapat 18% grey itu seperti apa, sedikit diperjelas mang ?

Kurang lebih middle gray untuk mencari correct exposure suatu scene supaya shadow tetap ada highlight tidak clipping, begitu kira-kira. Kalau mau lebih jelas bisa googling tentang greycard.

Kemudian kita berlanjut ke roll film mang ,apakah yang perlu diperhatikan ketika memilih atau mau memakai roll film mang?

Hmm… apa ya, ekonomis kali hahaha. Supaya banyak motret-nya dan tidak ada perasaan guilty kalau frame gagal.

Mungkin bisa saja kalau mau ngejar toning film A ya harus pakai film A.
Kalau buat black and white  lebih ke karakter emulsi-nya, kalau milih film ada yang fine grain ada yang grainy parah tergantung selera sihh!.

 

© Galih Rudianto

© Galih Rudianto

 

Masalah penyimpanan roll film nih mang, hal-hal apa saja yang perlu di perhatikan?

Suhu sihh!. Cukup di suhu yang stabil kalau mau disimpen di kamar, jangan kepanasan dan jangan lembab.
Kalau untuk pemakaian jangka panjang taruh di kulkas di fruit/vegie container saja cukup.

Baik mang galih, untuk ketahanan maximal sampai berapa lama sih mang ketahanan dari roll film jika kita menggunakan prosedur penyimpanan seperti yang mang galih sampaikan ?

Kalau ketahanan film biasanya ada tanggal expired-nya di film yang kita simpan, kalu sudah expired meskipun film nya kita simpan sesuai prosedur, ya jadi jelek juga emulsi-nya.

Dari seluruh roll film yang mang galih hasilkan planing mang galih apa mang kedepanya?

Wooow pertanyaanya makin sulit. Framing yg sudah ada dan film yang sudah di develop mau diapakan yaah! Hahaha.
Jujur saja saya motret masih belajar dan sekedar hobi, ya mungkin dikumpulkan saja mas. Dan lihat progres saya belajar motret dari roll ke roll. (bukan rock and roll ya!) hahahha

Soalnya gimana ya, motret masih merasa kurang.
Ada hasil-hasil printing yang dipajang di rumah dan saling tukar print sama teman-teman yg lain biasanya.

 

© Galih Rudianto

© Galih Rudianto

 

Kamera digital semakin hari semakin canggih mang, pernah tisak terfikir untuk kembali ke kamera digital lagi? Atau mang galih ingin tetap bertahan berkarya dengan kamera film ?

Mungkin kalau untuk kerja, pasti butuh teknologi terbaru. Supaya bisa mempercepat proses kerja kita jadi lebih efisien.

Tapi kalau untuk hobi. Saya mungkin bertahan di film saja. Soalnya selain saya suka barang-barang vintage, Saya juga sekarang ini belum membutuhkan kamera digital kali yah! Hahaha.
Mungkin someday kalau film sudah susah didapatkan pasti pindah ke sensor digital.

 

© Galih Rudianto

© Galih Rudianto

 

Baik mang galih, berarti intinya mang galih memilih kamera film bukan karena trend tapi memang suka dan passion-nya disitu ya mang, sekarang mungkin ada gak nih pesan-pesan buat para pengguna kamera film/analog atau yang mungkin mau nyoba berpindah ke kamera film mang galih ?

Hmm…!, Tidak menutup kemungkinan besok saya jadi pakai digital lagi tapi buat sekarang stick to film, karena masih panjang proses belajarnya, hahaha.

Pesan-pesan ya?. Waduh da saya teh siapa atuh dimintain pesan segala da masih anak bawang yang belajar motret. Hahaha.
Ya, mungkin film atau digital sama saja, semuanya cuma media saja, yang terpenting handling dari alat yg kita punya maksimalkan.

Kalau mau sekedar coba-coba dulu lebih baik pinjam dulu dengan yang punya kamera film.
Hal yang harus dipertimbangkan banyak soalnya, Jadi dari pada mengeluarkan modal untuk beli kamera mending pinjam dulu saja, dan coba rasakan kalau memang disitu passion-nya, go for it!.

 

© Galih Rudianto

Galih Rudianto

Instagram : @ssendaljepitt

 

 

© Tawandwad Wanavit
Artikel, Interview, Street photography,

Photographer Interview : Tawanwad Wanavit From Thailand

Bisakah Anda memperkenalkan diri anda?

Hai, saya Tang Tawanwad Wanavit. Saya saat ini berusia 27 tahun, bekerja sebagai sinematografer di Thailand, tetapi saya jatuh cinta pada fotografi. Saya telah memotret fotografi jalanan selama 2 tahun sekarang.

Could you please introduce yourself?

Hi, I’m Tang Tawanwad Wanavit. I’m currently 27 years old, working as a cinematographer in Thailand, but I fell in love with photography. I’ve been shooting street photography for 2 years now.

© Tawandwad Wanavit

© Tawandwad Wanavit

Apa kenangan masa kecil Anda terhadap seni?

Orang tua saya adalah seniman sehingga mereka menyukainya ketika saya melakukan sesuatu yang berhubungan dengan seni, saya sangat senang melakukan sesuatu yang mereka banggakan. Mereka selalu mendorong saya untuk melukis, menggambar, dan bahkan menari ketika saya masih muda, jadi di satu sisi, saya selalu berada di sisi baik seni.

What is your childhood memories towards the arts?

My parents are artists so they love it when I do something art related, I’m very happy to do something that they’re proud of. They always encourage me to paint, draw, and even dance when I was young, so in a way, I’m always on the good side of art.

© Tawandwad Wanavit

© Tawandwad Wanavit

Apa yang pertama kali menarik Anda ke fotografi dan bagaimana Anda menemukannya?

Hal pertama yang harus saya akui, adalah gagasan untuk menjadi keren. Saya pikir itu terlihat keren untuk berjalan membawa kamera, saya terinspirasi oleh karya Tavepong Pratoomwong dan dia sangat keren dengan foto-fotonya. Ide itu tidak melekat pada saya sangat lama, kemudian saya menjadi bosan untuk berusaha keras untuk menjadi keren untuk mengesankan orang lain, saya kemudian tertarik pada gagasan eksperimen.

What first drew you to photography and how did you discover it?

The very first thing I have to admit, it was the idea of being cool. I thought that it looks cool to walk around carrying a camera, I was inspired by Tavepong Pratoomwong’s works and he’s very cool with his photos. That idea didn’t stick to me very long, later on I became bored of trying so hard to be cool to impress other people, I then become attracted to the idea of experiments.

 

© Tawandwad Wanavit

© Tawandwad Wanavit

 

Apa yang membuat fotografi jalanan begitu spesial untuk Anda?

Fotografi jalanan benar-benar tempat bermain bagi saya. Ini sangat istimewa karena memiliki begitu sedikit aturan dan begitu banyak ruang untuk bermain. Saya dapat melakukan apa pun yang saya inginkan, biasanya ketika saya ingin tahu tentang bagaimana foto akan terlihat jika saya melakukan sesuatu, saya bisa melakukannya!

What makes street photography so special for you?

Street photography is literally a playground for me. It’s so special because it has so little rules and so much room to play. I can do anything I want, usually when I’m curious about what the photo would look like if I do something, I can just do it!

 

© Tawandwad Wanavit

© Tawandwad Wanavit

 

Apa perbedaan yang diciptakan fotografi dalam hidup Anda?

Ini menciptakan obsesi besar bagi saya, dan saya tidak bisa berhenti melakukannya. Tidak peduli betapa lelahnya saya, betapa sibuknya saya, saya selalu punya waktu untuk fotografi. Itu adalah sesuatu yang harus saya lakukan untuk melepaskan energi saya. Saya melihat dunia secara berbeda, dan saya menjadi semakin sensitif terhadap apa yang terjadi di sekitar saya.

What difference does photography create in your life?

It creates this huge obsession for me, and I cannot stop doing it. No matter how tired I am, how busy I am, I always have time for photography. It’s something I need to do to release my energy out. I look at the world differently, and I become more and more sensitive to what’s going on around me.

 

© Tawandwad Wanavit

© Tawandwad Wanavit

 

Bagaimana Anda tahu ketika sesuatu, seseorang, atau beberapa tempat layak untuk difoto?

Jika saya melihat itu lebih dari satu kali, atau saya berhenti dan melihatnya, maka ada baiknya untuk mengambil foto.

How do you know when something, someone, or some place is worth shooting?

If I look at it more than once, or I stop and look at it, then it’s worth shooting.

 

© Tawandwad Wanavit

© Tawandwad Wanavit

 

Bagaimana Anda mendeskripsikan koneksi Anda dengan subjek Anda?

Ini adalah sesuatu yang menjadi masalah saya di masa lalu, saya takut pada orang-orang dan hewan yang saya potret karena saya selalu berpikir bahwa mereka akan menyerang saya, Jadi bahasa tubuh saya selalu menunjukkan bahwa saya gugup ketika saya mendekati mereka, Jadi mereka selalu merasa bahwa saya melakukan sesuatu yang tidak saya yakini dan mungkin sesuatu yang buruk. Kemudian, saya mencoba berteman dengan mereka. Ketika saya memotret, Saya banyak tersenyum, bukan karena saya ingin menunjukkan kepada mereka bahwa saya ramah, tetapi saya lebih bersenang-senang ketika saya memotret. Ketika saya berpikir mereka adalah teman saya, kebanyakan orang dan hewan merasakannya, dan mereka tidak keberatan saya memotret, tetapi tentu saja, ketika saya memotret mereka ketika mereka tidak sadar, dan mencaritahu setelahnya, itu bisa menjadi beberapa konflik.

How do you describe your connection with your subject matter?

This is something I have problem with in the past, I was scared of the people and the animals I shoot because I always think that they would attack me, so my body language always show that I’m nervous when I go near them, so they always sense that I’m doing something I’m not confident of and it’s probably something bad. Later on, I try to be friends with them. When I shoot, I smile a lot, not because I want to show them that I’m friendly, but I have more fun when I shoot. When I think they’re my friends, most people and animals kinda sense it, and they don’t mind me shooting, but of course, when I shoot them when they’re not aware, and found out later, there could be some conflict.

 

© Tawandwad Wanavit

© Tawandwad Wanavit

 

Gear anda?

Lumix GX9 dengan lensa 15mm dari Leica Summilux DG, dibuat untuk Panasonic.

Your gear?

Lumix GX9 with 15mm lenses from Leica Summulix DG, made for Panasonic.

 

© Tawandwad Wanavit

© Tawandwad Wanavit

Satu hal yang selalu kamu ingat di jalanan?

Saya selalu mengingatkan diri sendiri untuk tidak membawa kamera sampai saya menyusun gambar kasar di kepala saya terlebih dahulu, kadang-kadang momen itu bisa hilang jika saya memunculkannya terlalu cepat.

One thing you always make sure to remember on the streets?

I always remind myself to not bring the camera up until I compose a rough image in my head first, sometimes the moment could be gone if I bring it up too fast.

© Tawandwad Wanavit

© Tawandwad Wanavit

Fotografer mana yang menginspirasi Anda?

Tavepong Pratoomwong menginspirasikan saya ke dalam fotografi jalanan, kemudian saya memiliki era obsesi flash saya, yang dimulai dari tahun ini. Gavin Bragdon, Gareth Bragdon, Salvatore Matarazzo, dan Barry Talis sangat menginspirasi saya.

Which photographers inspire you?

Tavepong Pratoomwong inspired me into street photography, then I have my flash obsession era, which started from this year. Gavin Bragdon, Gareth Bragdon, Salvatore Matarazzo, and Barry Talis inspired me a lot.

 

© Tawandwad Wanavit

© Tawandwad Wanavit

 

Anda punya buku favorit tentang fotografi?

Minutes to Midnight karya Trent Parke adalah favorit saya sepanjang masa.

You have any favorite books on photography?

Minutes to Midnight by Trent Parke is my all time favorite.

 

© Tawandwad Wanavit

© Tawandwad Wanavit

 

Menurut Anda, bagaimana teknologi mengilhami kreativitas dalam fotografi?

Saya pikir semakin banyak teknologi, semakin banyak kemungkinan. Saya selalu bersemangat untuk teknologi baru. Jika Anda bertanya kepada saya tentang batasan apa yang baik untuk fotografi jalanan dan apa yang akan saya katakan, Fotografi adalah tentang memanipulasi dan menangkap cahaya. Jika teknologi yang Anda gunakan adalah tentang memanipulasi lampu, ada baiknya datang pada saya.

How do you think technology inspires creativity in photography?

I think the more technology, the more possibilities. I’m always very excited for new technologies. If you ask me about the limits of what’s okay for street photography and what’s too much I would say, Photography is about manipulating and capturing lights. If the technology you use is about manipulating the lights, it’s good to go for me.

 

© Tawandwad Wanavit

© Tawandwad Wanavit

 

Prestasi apa yang telah Anda dapatkan selama karier Anda dalam fotografi?

Miami Street Photography Festival 2015 – Finalist

Street Foto San Francisco 2016 – Finalist

Brussel Street Photography Festival 2017 – Finalist

Observe Collective, Down by the River, Iserlohn Germany Contest – 1st Place

Street Foto San Francisco 2017 – Finalist

Street Foto San Francisco 2018 – Finalist

London Street Photography Festival 2018 – Finalist

Bangkok Street Photography Festival – Finalist

Brussel Street Photography Festival 2018 – Finalist

Italian Street Photo Festival 2018 – Finalist

What achievements have you gained during your career in photography ?

Miami Street Photography Festival 2015 – Finalist

Street Foto San Francisco 2016 – Finalist

Brussel Street Photography Festival 2017 – Finalist

Observe Collective, Down by the River, Iserlohn Germany Contest – 1st Place

Street Foto San Francisco 2017 – Finalist

Street Foto San Francisco 2018 – Finalist

London Street Photography Festival 2018 – Finalist

Bangkok Street Photography Festival – Finalist

Brussel Street Photography Festival 2018 – Finalist

Italian Street Photo Festival 2018 – Finalist

 

© Tawandwad Wanavit

© Tawandwad Wanavit

 

Ada tips untuk calon fotografer jalanan di luar sana?

Saya merasa seperti saya masih sangat baru juga, tetapi jika ada beberapa saran yang dapat saya berikan, itu harus tentang mengelola emosi Anda terhadap perhatian yang diberikan orang kepada Anda. Ada periode di mana saya mendapat begitu banyak perhatian dan saya terobsesi dengan itu saya menjadi serakah. Selalu waspada dengan apa yang terjadi di jalur Anda, dan hargai apa yang Anda miliki saat ini.

Any tips for aspiring street photographers out there?

I feel like I’m still very new too, but if there’s some advice I can give, it has to be about managing your emotion toward the attentions people give you. There was a period where I got so much attention and I was obsessed with it I become greedy. Always be aware of what’s going on in your path, and appreciate what you have in the present time.

Tang Tawanwad Wanavit

Instagram : tang_tawanwad
Facebook : tang tawanwad wanavit

© Kanal Budiarto
Artikel, Interview, Sharing,

Kanal Budiarto : Juara HIPA Hanya Bonus

Halo mas budi , apa kabar mas ?

Halo juga mas Din , kabar baik selalu mas Din.

Masih sering motret ya mas Budi?

Masih sering mas, dan tiap hari selalu bawa kamera ini mas. hehe

 

© Kanal Budiarto

© Kanal Budiarto

Berarti kerja juga mas Budi membawa kamera mas ?

Iya mas, kemana saja saya selalu membawa kamera. Siapa tahu dapat momen yang istimewa, karena sering sekali ketika tidak bawa kamera sering melihat moment-moment menarik di ruang publik jadi saya putuskan untuk membawa kamera saya kapan pun dan di mana pun. Ditambah lagi, keseharian saya bekerja di RS Kartini Jepara, di Rumah Sakit kan selalu ramai. Jadi saya sering mengamati dan kadang saya memotret tipis-tipis, pernah dapat momen tapi foto yang saya buat refleksi dan kadang hanya bermain silhouete.

 

© Kanal Budiarto

© Kanal Budiarto

 

Bagi mas Budi, fotografi itu sekedar hobi atau pekerjaan sampingan juga mas ?

Fotografi buat saya itu hobi mas, karena saya suka mengabadikan apa yang ada di sekitar saya. Karena dulu saya suka berpergian touring dengan menggunakan Vespa, melihat konser sampai luar kota.  Kemudian ada ide, wah kalo perjalanan ini tidak di dokumentasikan sayang juga. Jadi setiap saya touring selalu sewa kamera tetangga dan itu saja dulu kamera analog mas. Dulu cuma bisa asal motret aja mas. Terus di tahun 2012 saya membeli kamera DSLR Canon 1100D dan itu cuma buat foto-foto dokumentasi aja, ada teman main band ikut saya yang mendokumentasikan. ya seperti itulah kurang lebih. hahaha

 

© Kanal Budiarto

© Kanal Budiarto

Meskipun hobi tapi kemarin saya dengar mas Budi menjadi juara salah satu kompetisi foto internasional HIPA bertema My Idol ya mas ? gimana ceritanya itu mas bisa jadi juara di kompetisi foto bergengsi itu?

Alhamdulillah bulan Agustus kemaren HIPA mengadakan kompetisi foto bertema My Idol. Saya pertama niatnya cuma ikut-ikutan saja tidak tahu jika saya akan menang atau tidak yang terpenting kirim foto. Waktu buka file-file foto di laptop saya menemukan foto anak kecil sedang memegang kamera mainan yaudah saya submit foto itu saja karena saya fikir itu sesuai tema yang di adakan HIPA.

 

© Kanal Budiarto

© Kanal Budiarto

Foto yang jadi juara itu saya dapatkan sebenarnya sudah agak lama. saat saya sedang mangantar teman dari Sragen namanya Isan Yp. Dia mau motret ke tenun Troso, saat perjalanan kesana kami melewati Desa Senenan pusat kerajinan ukir relif, dan saya melihat ada orang sedang mengukir terus kami berhenti. Saya dekati bapak yang sedang mengukir dan saya ajak bercakap-cakap. Dan di samping bapak itu ada anaknya yang sedang bermain melihat ke arah saya. Tiba-tiba dia masuk ke dalam rumah ngambil kamera mainan dan kembali berjalan ke arah ayahnya yang sedang mengukir. Waktu berpose seolah-olah sedang memotret itu saya arahkan kameraku untuk mengabadikan momen tersebut Jadilah foto itu. Terus saya edit menjadi Monochrome. Kalo saya buat berwarna, warna kulit sama kayu hampir sama soalnya jadi kurang menarik menurut saya. Hehe

HIPA kalau tidak salah setiap tahun mengadakan kompetisi ya mas? sudah berapa kali mas Budi submit karya mas Budi ke HIPA ?

Tema kompetisi My Idol itu tema bulanan. Kalo bulanan sudah ikut beberapa kali. Kalo yang tahunan, untuk tahun ini saya ikut juga yang terpenting kirim saja dulu, Soal menang atau tidak itu urusan nanti yang terpenting semangat mas. hehe

 

© Kanal Budiarto

© Kanal Budiarto

 

Kalau bagi mas Budi tujuan dan motivasi mas Budi mengikuti kompetisi internasional apa mas selain mendapat apresiasi dan pengakuan mas ?

Jika pengakuan, saya yakin setiap fotografer baik mereka dari kalangan hobi maupun profesional pasti menginginkan pengakuan. Tapi bagi saya yang paling utama adalah sebagai cerita dan untuk memotivasi anak kita nanti. Bahwa kita pernah juga mendapatkan prestasi di ajang internasional dari hobi kita. Selain itu juara HIPA bagi saya hanyalah sebuah bonus, yang terpenting kita senang dulu dengan apa yang kita lakukan. Karena kita di ranah fotografi ya kita harus suka dulu dengan apa yang kita foto. Jika kita sudah benar-benar menyukai karya-karya kita dan menghargai karya kita sendiri maka orang lain pun juga nantinya akan menghargai.

 

© Kanal Budiarto

© Kanal Budiarto

Menurut mas Budi perkembangan fotografi di indonesia seperti apa mas sekarang ?

Perkembangan fotografi di Indonesia sangat bagus dan  semakin berkembang. Apalagi saat ini di dukung dengan perkembangan teknologi komunikasi yang sangat pesat sehingga kita lebih leluasa mendapatkan informasi tentang fotografi dari manapun, terutama dari media sosial dan website-website.

Harapan mas Budi apa mas, untuk perkembangan fotografi di indonesia kedepanya ?

Harapan saya untuk perkembangan fotografi di Indonesia yang pasti semakin maju. Dan masalah hak cipta foto semakin terlindungi kedepanya.

 

© Kanal Budiarto

Foto Kanal Budiarto

Facebook : https://facebook.com/budi.slankcooters

Twitter : https://twitter.com/budislank879

Instagram : http://instagram.com/kanalbudiarto & http://instagram.com/budislankcooters

 

Aizad Fadzli - dinprasetyo.com
Artikel, Interview, Street photography,

Photographer Interview : Aizad Fadzli

Silahkan Anda memperkenalkan diri?

Terima kasih di atas peluang yang diberikan. Perkenalkan, nama saya Aizad Fadzli Co-Founder ISP Collective – Invisible Street Photography dan Ex-admin FJM Street Photography Malaysia, Aktif di dalam scene street photography Malaysia hampir 5 tahun.

Apa kenangan masa kecil anda terhadap seni?

Sejak awal umur, pra sekolah dan sekolah rendah; seni visual telah ditekankan bagi mengaplikasikan kemahiran seni, mengespresiasi diri, mengaspresiasi seni bagi memperolehi pengalaman estetik dan menyampaikan idea melalui imaginasi dan kreativiti.  Seni yang dimaksudkan adalah seni lukisan dan saya cenderung untuk melukis pada tempoh ini. Boleh dikatakan aktiviti seni visual yang dilaksanakan semasa zaman kanak-kanak lebih menekankan proses dan luahan ekspresif.  Proses pembelajaran dan penguasaan kemahiran ini yang telah mempengaruhi persepsi, kreativiti dan sensitiviti terhadap keadaan sekeliling apabila dewasa.

 

© Aizad Fadzli

© Aizad Fadzli

 

Apa yang pertama kali menarik Anda ke fotografi dan bagaimana Anda menemukannya?

Pada tahun 2002, saya telah dihadiakan kamera dan sejak dari itu, saya akan mengambil apa sahaja yang menarik perhatian. Saya menginginan detik-detik itu dirakamkan secara kekal. Faktor utama berkemungkinan adalah dari pemerhatian. Apabila tiba di tempat baru, kita akan memerhati persekitaran dan melihat dengan cara yang berbeza. Bermula dari detik itu, saya memahami apa yang telah merakam gambar-gambar yang mempunyai mesej cerita, ekspresi dan emosi kerana ia mampu menghubungkan jiwa-jiwa manusia. Pengenalan kepada komuniti Street Photography Malaysia merupakan a little push in the right direction.

Apa yang membuat fotografi jalanan begitu spesial untuk Anda?

Bermula dengan landscapes photography, kemudiannya beralih kepada human interest dan kedua-dua ini berlaku dalam tempoh sekitar tiga tahun. Saya mula menyoal diri ini bukanlah apa yang saya mahukan. Sejak dari lima tahun lalu, saya menyelusuri streets dan ini yang akan saya lakukan seterusnya pada masa yang hadapan.

“What we see is not made of what we see, but of what we are.”  Fernando Pessoa

 

© Aizad Fadzli

© Aizad Fadzli

 

Bagaimana Perkembangan fotografi di tempat atau negara anda tinggal?

Senario perkembangan street photography di Malaysia tidak terlalu berbeza dengan senario di Indonesia. Seperti yang dinyatakan pada perbincangan bersama Maklumfoto mengenai Senario perkembangan street photography di Indonesia pada November 2017, komuniti-komuniti Street Photography disini perlu saling mempromosikan genre ini ke satu tahap yang lebih tinggi dan keluar dari tradisi kepompong keselesaan. Resolusi jangka panjang terhadap perancangan masa depan dan pengubahsuian pendekatan perlu mengikut kesesuaian semasa. Secara keseluruhannya, scene disini telah berkembang dengan pesat dengan kewujudan komuniti dan bilangan pengiat Street Photography yang semakin ramai.

 

© Aizad Fadzli

© Aizad Fadzli

Bagaimana Anda tahu ketika sesuatu, seseorang, atau beberapa tempat layak untuk difoto?

ia bergantung pada situasi dan kombinasi beberapa elemen untuk menghasilkan foto yang berkualiti dan kuat. Setiap scene mempunyai potensi yang tersendiri. Elemen utama dalam Street Photography adalah penceritaan dan decisive moment. Komposisi dan pencahayaan yang bersesuaian akan menjadikan penceritaan lebih menarik lagi.

Untuk menjadikan hasil karya lebih menarik dan efektif, kaedah Decisive Moment yang dipopularkan oleh Henry Cartier Bresson biasanya digunapakai sebagai panduan.  Decisive moment berarti rekaman dibuat tepat saat kemuncak  sesuatu happening atau scene dihadapan kita bersertadengan komposisi yang mantap. Peak moment + Form (Formal Element) Content (Penceritaan yang bermakna ) = Decisive Moment, tetapi Ia jarang berlaku. Dalam satu hari sekiranya anda memperoleh 100-200 foto yang dirakamkan, mungkin ada satu atau dua foto yang berkualiti dan kemungkinan tiada langsung.

Bagaimana Anda mendeskripsikan koneksi Anda dengan subjek Anda?

Secara jujur, saya tidak meluangkan terlalu banyak masa di satu-satu tempat. Saya kan meninggalkan scene tersebut setelah saya memperoleh foto yang diingini. Saya hampir tidak pernah mempunyai perbualan dengan subjek. Kebanyakan tidak perasan foto mereka diambil dan jika mereka perasan saya hanya melihat mereka dan memberikan senyuman. Senyuman membantu menenangkan keadaan.

Kamera yang anda gunakan?

Sony A6000, Sigma 19mm dan Fujifilm X100 Series, 28mm. Kebanyakkan orang berfikir mereka perlu memiliki peralatan kamera yang hebat untuk menghasilkan gambar yang hebat. Ini tidak benar, percayalah. Mereka berfikir bahawa apabila mereka menaik taraf kamera mereka ke sistem dan teknologi yang terkini, kualiti akan meningkat. Ini tidak benar, ia bermula dari fikiran yang memberitahu sebab gambar anda tidak hebat adalah kerana kamera anda tidak cukup baik. Ia berlaku kepada semua orang termasuk saya sendiri, apabila saya tidak berpuas hati dengan foto yang dihasilkan, saya selalu merasakan bahawa membeli kamera baru akan memberi inspirasi dan dapat menghasilkan foto yang  hebat. Secara fakta, ia tidak pernah berlaku.

Satu hal yang selalu Anda ingat di jalanan?

Apa yang ada di hadapan mata, telah tersedia. Tunggu dan moment tersebut pasti ada.

Fotografer mana yang menginspirasi Anda?

Matt Stuart: Humor

Mark Cohen: Closeness dan keunikkan style yang tersendiri

Siegfried Hansen: Gafik dan keunikkan style yang tersendiri

Alex Webb: Kesempurnaan

Martin Parr: Sosial kritik, humor dan irony)

Tavepong, Komposisi dan misteri

Vineet Vohra: Layering

Jesse Marlow: Lively

Pau Buscato Juxtaposition dan kreatviti

HCB: Komposisi dan klasik

Saul Leiter: Warna dan abstrak

dan banyak lagi

Buku favorit anda tentang fotografi?

Street Photography Now dan 100 Great Street Photographs

 

© Aizad Fadzli

© Aizad Fadzli

 

Bagaimana menurut Anda teknologi mengilhami kreativitas dalam fotografi?

Salah satu faktor yang memainkan peranan signifikan di dalam perkembangan kreativiti Street Photography adalah peranan penyampaian teknologi maklumat iaitu media sosial. Kewujudan platform media sosial seperti Facebook, Instagram dan yang lain-lain ini  memudahkan perkongsian dan mempercepatkan proses perkongsian di antara penggiat Street Photography. Media sosial menyediakan ciri praktikal yang menyokong proses komunikasi dan memudahkan penggiat Street Photography untuk berinteraksi, berkolaborasi, perkongsian dan berkomunikasi secara langsung di antara satu sama lain.

Pencapaian apa yang telah Anda dapatkan selama karier Anda dalam fotografi?

Pencapaian yang terbaru adalah tersenarai sebagai Finalist SPi (Street photography International) Street Awards 2018, Finalist StreetFoto San Francisco Festival 2018 dan Editors Pick Lensculture Exposure Awards for Single Image, Editor Pick’s, 2018.

Ada tips untuk fotografer jalanan di luar sana?

Pelajari asas-asas fotografi dan kembangkan kemahiran memerhati anda. Ini boleh diperoleh dengan melihat foto dari curated group di flickr, collective. Keluar, hasilkan lebih banyak foto, jangan takut untuk melakukan kesilapan, nikmati setiap saat apabila anda keluar bersama dengan kamera anda. Yang paling penting adalah mengasilkan foto untuk diri anda sendiri dan bukannya untuk orang lain. Jangan biarkan penghargaan atau kritikan mengganggu matlamat anda.

Website : http://www.ispcollective.com

www.instagram.com/aizadfadzli/

© Fahmy Afryan
Artikel, Interview, Street photography,

Photographer Interview : Fahmy Afryan

Silahkan perkenalkan diri anda?
Assalammualaikum, halo perkenalkan nama saya Fahmy Hifny Afryan biasa dipanggil fahmy/efrik (Panggilan sejak kecil ), saya tinggal di  Bawen, Kabupaten Semarang.
Sejak kapan anda mulai mengenal dunia fotografi? dan sudah berapa lama anda menggeluti dunia fotografi ?
Saya suka dengan dunia fotografi semenjak duduk di bangku SMP, cuman dulu masih sebatas suka  saja. Sebatas melihat orang motret saja dan menikmati hasil foto teman, belum benar-benar tau secara rinci apa itu fotografi. Mulai duduk di bangku SMA baru mencoba-coba motret itupun masih menggunakan kamera film.
Kalau tidak salah waktu itu menggunakan kamera fujifilm entah lupa tipenya, cuman sampai sekarang masih ada barangnya, Ketika beranjak ke jenjang perkuliahaan, barulah saya belajar betul apa itu fotografi dari salah seorang teman, itupun masih dasar dan saya belajar sendiri secara otodidak. Memasuki semester akhir mulai memahami sedikit-sedikit apa itu fotografi dan Saya masih merasa perlu banyak belajar tentang pemahaman-pemahaman di dunia fotografi.

© Fahmy Afryan

Kenapa memilih fotografi jalanan dan kenapa fotografi jalanan spesial bagi anda dan sejak kapan menggeluti fotografi jalanan?
Awalnya saya belum tahu apa itu fotografi jalanan, masih suka memotret model (meskipun teman sendiri), dokumenter, dan landscape, meskipun dengan kamera hasil meminjam hahaha.
Awal tahun 2016 baru dikenalkan oleh dua orang teman tentang foto jalanan, istilahnya Street Photography / foto jalanan.
© Fahmy Afryan

© Fahmy Afryan

Kami perhatikan karya-karya anda lebih banyak mengandalkan decisive moment atau moment puncak, Kenapa ?  
Alasan kenapa foto saya mengandalkan Decisive Moment, karena bagi saya hal itu adalah komposisi yang mudah untuk dipahami dalam konsep awal belajar tentang Street Photography, jadi masih mengandalkan foto yang apik, menarik, dan dapat dinikmati orang banyak. Namun setelah berada dititik jenuh dengan karya seperti itu akhirnya sekarang saya mencoba untuk belajar lagi lebih dalam, apa itu Fotografi Jalanan. Apa yang seharusnya diangkat dari jalanan itu sendiri, serta bagaimana bisa membawa emosi kedalam foto yang saya ciptakan, sehingga bisa dijadikan kenangan bagi diri sendiri dan menjadi memory tersendiri bagi orang lain.
Sehiingga, untuk saat ini saya berusaha untuk banyak belajar dan mencoba mengekspresikan tatanan public didaerah saya dengan pendekatan dan sudut pandang saya pribadi.
© Fahmy Afryan

© Fahmy Afryan

Siapa fotografer yang menginspirasi karya-karya anda ?
Banyak, contohnya Fotografer Magnum. Mereka sangat cocok untuk dijadikan referensi dalam proses belajar.
© Fahmy Afryan

© Fahmy Afryan

Apa buku foto favorit anda?
Banyak juga, namun sekarang saya lebih tertarik dengan buku foto karya Norris Webb serta Trent Parke. bagi saya karya meraka menarik untuk dipadukan.
© Fahmy Afryan

© Fahmy Afryan

 

Prestasi apa saja yang sudah anda raih selama menggeluti dunia fotografi?
Bicara tentang prestasi, banyak foto-foto saya yang dipublikasikan di berbagai akun Fotografi Jalanan akun-akun media sosial dan Alhamdulillah tahun 2016 menjadi juara 2 pada event JSPI (Jambore Street Photography Indonesia) serta tahun 2017 meraih Gold Medal pada event Salon Foto Indonesia (SFI).
© Fahmy Afryan

© Fahmy Afryan

 

Bagaimana menurut anda perkembangan fotografi di Indonesia khusunya fotografi jalanan? 
Fotografi jalanan di Indonesia semakin berkembang dan semakin diterima oleh masyarakat dan sampai saat ini penggiat fotografi jalanan di Indonesia semakin kesini semakin banyak. Lanjutkan !!
© Fahmy Afryan

© Fahmy Afryan

Adakah beberapa patah kata untuk penggiat fotografi jalanan di indonesia? dan apa harapan anda untuk seni fotografi di Indonesia khusunya fotografi jalanan?
Teruslah belajar dan berkembang serta tampilkan identitas Indonesia dalam foto jalannamu, tunjukkan kalau Street Photography di Indonesia tidak kalah menarik dengan Street Photography diluar negeri.
Children by Dewangga
Artikel, Interview, Street photography,

Photographer Interview : Dewangga

Silahkan perkenalkan diri anda?

Terimakasih atas kesempatannya. Sebelumnya perkenalkan nama saya Dewangga Ewang Jasa Rahardian, saya bekerja di rumah makan Jepang milik kakak saya di Yogyakarta.

Sejak kapan anda mulai mengenal dunia fotografi? dan sudah berapa lama anda menggeluti dunia fotografi ?

Saya mengenal fotografi sejak tahun 2015 akhir, namun mulai serius mendalaminya mulai 2016. Sudah 3 tahun saya menggeluti hobi saya ini.

© Dewangga

© Dewangga

 

Kenapa memilih fotografi jalanan dan kenapa fotografi jalanan spesial bagi anda dan sejak kapan menggeluti fotografi jalanan?

Hmm… Pada awalnya saya cuma iseng-iseng mencoba dan hanya ikut-ikutan teman, namun lama-lama saya ketagihan mendalami fotografi jalanan karena pada dasarnya saya memang suka mengamati dinamika dan kegiatan orang-orang di ruang publik, sehingga hal itu membuat saya lebih peka menangkap fenomena di jalanan untuk dijadikan saksi dan bukti perkembangan kota tempat saya tinggal, yaitu Yogyakarta. Saya mendalami fotografi jalanan sejak pertengahan 2016. Pokoknya, fotografi jalanan itu asyik broh!.

Kami perhatikan karya-karya anda lebih banyak mengandalkan decisive moment atau moment puncak, bagaimana menurut anda ?  

Menurut saya, memang moment puncak atau decisive moment itu seperti kita memakan sebuah bakso yang berisi cabai, tidak selalu terlihat enak dan mulus namun ada kejutan saat kita nikmati.
© Dewangga

© Dewangga

 

Kami lihat anda juga membuat akun lain selain akun instagram utama anda @aggnawed, dan disitu kami dapati foto-foto selain fotografi jalanan, apakah anda sedang observasi atau sedang ada hal lain yang membuat anda ingin mencoba jenis fotografi lain? 
Saya memang memiliki beberapa akun lain, ada yang untuk mengikuti beberapa kontes foto di Instagram hingga ada akun yang akan saya siapkan untuk beberapa projek saya, karena saya ingin lebih mengembangkan fotografi saya.
Siapa fotografer yang menginspirasi karya-karya anda ?
Hingga saat ini karya-karya dari Tavepoong, Vneet Vohra, Chris Tuarissa, dan om Sambara, selalu membuat saya merinding, namun kalau untuk inspirasi, saya bisa mendapatkannya dari mana saja termasuk dari karya teman-teman semua.

 

© Dewangga

© Dewangga

 

Apa buku foto favorit anda?
Buku foto favorit saya “Unpublished” dari Kompas. Dan beberapa buku foto dari jurnalis Antara.
Prestasi apa saja yang sudah anda raih selama menggeluti dunia fotografi?
Prestasi saya yang paling berkesan saat mendapat medali dari kontes bulanan Hipa yang saat itu bertema “Children”, dan ada beberapa kontes foto lokal yang pernah saya menangkan.

 

© Dewangga

© Dewangga

 

Bagaimana menurut anda perkembangan fotografi di Indonesia khusunya fotografi jalanan?
Fotografi jalanan Indonesia bisa dibilang berkembang sangat pesat, hal itu dapat dilihat dari perbandingan jumlah fotografer jalanan yang saat ini semakin bertambah banyak dibandingkan awal-awal ketika saya belajar fotografi dahulu.
© Dewangga

© Dewangga

 

 

 

Adakah beberapa patah kata untuk penggiat fotografi jalanan di indonesia? dan apa harapan anda untuk seni fotografi di Indonesia khusunya fotografi jalanan?
Pesan saya, jangan cepat bosan dengan fotografi jalanan. Karena beda waktu, selalu beda moment di ruang publik, dan belajarlah untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Jangan hanya demi sebuah foto yang bagus dan indah kita sampai melupakan norma kesopanan, dan teruslah belajar, jangan terlalu mudah puas dengan karya yang penuh pujian, karena pujian adalah racun yg menghambat jika kita terlalu terlena dan tidak menjadikanya sebagai motivasi untuk berkembang.
Harapan saya fotografer Jalanan di Indonesia terus berkembang hingga masuk beberapa ajang bergengsi seperti Miami Street Photography Festival, dan saya harap banyak fotografer jalanan Indonesia bisa bmembuat pameran atau workshop di luar negeri.
© Dewangga

© Dewangga

instagram : @aggnawed

alexander-andrews-sejarah-kamera
Artikel,

Sejarah Dan Perkembangan Kamera Dari Masa Ke Masa

Sejarah kamera dapat ditelusuri lebih jauh ke belakang daripada pengenalan fotografi. Kamera berevolusi dari kamera obscura, dan terus berubah melalui banyak generasi teknologi fotografi, termasuk daguerreotype, calotype, Dry Plates, film, sampai dengan kamera digital.

Kamera Obscura

Kamera obscura adalah kamera pertama dalam sejarah fotografi. Obscura berasal dari bahasa Latin yang artinya “ruang gelap”. Kamera ini berbentuk seperti sebuah kotak dengan ruang gelap atau kedap cahaya di dalamnya. Kamera obscura dapat memantulkan cahaya melalui dua buah lensa konveks, yang kemudian menempatkan gambar pada film/kertas di titik fokus pada lensa kamera. Catatan tertua yang membahas tentang prinsip ini adalah deskripsi yang dikemukakan oleh filsuf Han Cina Mozi (470 hingga 391 SM). Mozi menegaskan bahwa gambar kamera obscura terbalik karena cahaya bergerak dalam garis lurus dari sumbernya.

 

Pada abad ke-11 fisikawan Arab, Ibnu Al-Haytham (Alhazen) menulis buku-buku yang sangat berpengaruh tentang optik, termasuk eksperimen dengan cahaya melalui lubang kecil di ruangan yang gelap. Hal itu menjadi titik awal penemuaan teknologi kamera.

Ilustrasi Prinsip Kamera Obscura – Sumber : Wikipedia

 

 

Gambar Seorang seniman menggunakan kamera obscura abad ke-18 untuk melacak gambar – Sumber : Wikipedia

Joseph Nicéphore Niépce adalah orang pertama yang menghasilkan foto menggunakan kamera pada tahun 1816. Ia menghasilkan foto pertamanya menggunakan kamera yang sangat kecil buatanya sendiri dan dengan menggunakan selembar kertas dilapisi dengan perak klorida. Meskipun saat itu ia belum dapat menghasilkan foto yang permanen, kemudian pada pertengahan 1820-an, Niépce bereksperimen lagi menggunakan kamera obscura yang terfokus pada pelat timah 16,2 cm x 20,2 cm (6,4 in × 8,0) yang dilapisi tipis dengan aspal judea, yaitu aspal yang terbentuk secara alami yang peka akan cahaya.

 

Plat asli Joseph Nicéphore Niépce – View From The Window At Le Gras – Sumber : Wikipedia

 

Foto permanen pertama karya Joseph Nicéphore Niépce – View From The Window At Le Gras – Sumber : Wikipedia

Kamera obscura yang tidak praktis mengalami perkembangan. Pada tahun 1660-an, ilmuwan asal Inggris Robert Boyle dan asistennya Robert Hook menemukan kamera portable obscura. Kamera ini merupakan bentuk modifikasi kamera obscura sehingga bentuknya lebih ringkas.

Kamera Obscure Portable – Sumber : Wikipedia

Namun, kamera pertama yang sangat praktis untuk digunakan dalam bidang fotografi ditemukan oleh Johann Zahn, pada tahun 1685. Prinsip kamera model Zahn ini menggunakan slide tambahan sebagai alat untuk memfokuskan objek. Sistem Zahn tersebut mampu memberikan tambahan plat sensitif di depan lensa kamera sebelum melakukan pengambilan gambar.

Daguerreotypes dan calotypes

Setelah kematian Niépce pada tahun 1833, rekannya Louis Daguerre terus bereksperimen. Pada tahun 1837 Daguerre menciptakan proses fotografi praktis pertama, yang ia beri nama daguerreotype dan dipublikasikan pada tahun 1839. Daguerre menggunakan lembaran tembaga berlapis perak dengan uap yodium untuk memberikan lapisan iodida perak peka cahaya. Setelah terpapar di kamera, gambar dikembangkan oleh uap merkuri dan diperbaiki dengan larutan natrium klorida.

Kamera Daguerreotype dibuat oleh Maison Susse Freres pada tahun 1839, dengan lensa oleh Charles Chevalier – Sumber : Wikipedia

Henry Fox Talbot menyempurnakan proses yang berbeda yaitu calotype pada tahun 1840 dan di komersilkan. Ia mengembangkan kamera yang sangat sederhana yang terdiri dari dua kotak bersarang. Kotak belakang memiliki layar kaca tanah yang bisa dilepas dan bisa masuk dan keluar untuk menyesuaikan fokus. Setelah pemfokusan, kaca tanah diganti dengan pegangan yang kedap cahaya yang berisi pelat atau kertas peka dan lensa tertutup. Kemudian fotografer membuka cover pada holder, membuka tutup lensa, dan menghitung menit sebanyak yang di inginkan yang disesuaikan dengan kondisi pencahayaan sebelum mengganti tutup dan menutup dudukannya. Meskipun kesederhanaan mekanis ini, lensa achromatic berkualitas tinggi telah menjadi standar.

Kamera Calotype C 1850 – Sumber : Wikipedia

Dry Plates Collodion

Plat kering collodion mulai digunakan orang semenjak tahun 1857, kamera yang satu ini merupakan buah karya dari Desire van Monckhoven. Empat belas tahun kemudian, kamera pelat kering ini dimodifikasi oleh Richard Leach Maddox yang berhasil menciptakan pelat basah yang kualitas dan kecepatan pengambilan gambarnya lebih baik.

 

Kamera studio abad ke-19 – Sumber : Wikipedia

Perjalanan kamera Colliidion terus berlangsung hingga pada tahun 1878 ditemukan emulsi gelatin yang mampu meningkatkan sensitivitas kamera, sehingga kamera bisa mengambil gambar secara spontan.

Pada tahap inilah untuk pertama kalinya, kamera bisa dibuat cukup kecil untuk dipegang tangan, atau bahkan tersembunyi. Ada proliferasi dari berbagai desain, dari refleks tunggal dan lensa ganda untuk kamera besar dan kamera genggam.

Kodak dan kelahiran film

Penggunaan film pada fotografi dipelopori oleh George Eastman , yang mulai memproduksi kertas film pada tahun 1885 sebelum beralih ke seluloid pada tahun 1888-1889. Kamera pertamanya, yang ia sebut ” Kodak ,” pertama kali ditawarkan untuk dijual pada tahun 1888.Kodak adalah kamera kotak yang sangat sederhana dengan lensa fixed-focus dan kecepatan rana tunggal, yang harganya relatif lebih murah dari kamera-kamera sebelumnya sehingga menarik konsumen pada saat itu. Kodak datang dengan pre-loaded film yang cukup untuk 100 eksposur dan harus dikirim kembali ke pabrik untuk processing dan reloading ketika roll film habis digunakan. Pada akhir abad ke-19 Eastman telah mengembangkan ke beberapa model termasuk kotak dan kamera lipat.

Kotak kamera Brownie, sekitar tahun 1910 – Sumber : Wikipedia

Pada tahun 1900, Eastman mengambil langkah lebih maju di pasar fotografi dengan produknya yang ia beri nama Brownie, kamera kotak sederhana dan sangat murah yang memperkenalkan konsep snapshoot pertama kali. Brownie sangat populer dan berbagai model tetap dijual sampai 1960-an.

Meskipun ada kemajuan dalam fotografi berbiaya rendah yang dipelopori oleh Eastman, tetapi kamera yang menggunakan plat masih menawarkan cetakan berkualitas lebih tinggi dan tetap populer hingga abad ke-20.

Seperti kamera Schmidt , astrograf yang paling profesional terus menggunakan pelat sampai akhir abad ke-20 ketika fotografi elektronik menggantikannya.

35 mm

Sejumlah produsen mulai menggunakan film 35mm antara 1905 dan 1913. Kamera 35mm pertama yang tersedia untuk umum, dan mencapai angka penjualan paling signifikan adalah Tourist Multiple pada tahun 1913, dan Simplex pada tahun 1914.

Kamera Leica I 35 mm, 1925 – Sumber : Wikipedia

Oskar Barnack , yang bertanggung jawab atas penelitian dan pengembangan di Leitz , memutuskan untuk melakukan uji coba menggunakan film 35 mm ketika mencoba untuk membuat compact camera yang mampu menghasilkan pembesaran foto berkualitas tinggi. Dia membangun prototipe kamera 35 mm (Ur-Leica) sekitar tahun 1913, meskipun pengembangan lebih lanjut tertunda selama beberapa tahun oleh Perang Dunia I. Setelah Perang Dunia I, Leitz mencoba memasarkan kamera 35mm pertama mereka antara 1923 dan 1924, mereka mendapat respon yang cukup positif dari masyarakat sehingga kemudian memproduksi kamera 35mm tersebut sebagai Leica I (untuk Lei tz ca mera) pada tahun 1925. Popularitas Leica langsung melahirkan sejumlah pesaing, terutama Contax (diperkenalkan pada 1932).

Kodak memasarkan Retina I pada tahun 1934, yang memperkenalkan kartrid 135 yang digunakan di semua kamera modern 35 mm. Meskipun Retina relatif murah, kamera 35 mm masih jauh dari jangkauan kebanyakan orang dan roll film tetap format pilihan untuk kamera yang dijual secara umum. Hal ini berubah pada tahun 1936 dengan diperkenalkannya Argus A yang murah pada tahun 1939 dan disusul dengan kedatangan Argus C3 yang sangat populer. Meskipun kamera termurah masih menggunakan roll film, film 35 mm telah mendominasi pasar pada saat C3 dihentikan pada tahun 1966.

Industri kamera Jepang yang mulai bermunculan pada tahun 1936 dengan Canon 35 mm, versi yang lebih baik dari prototipe Kwanon 1933. Kamera Jepang mulai menjadi populer di Barat setelah veteran Perang Korea dan tentara yang ditempatkan di Jepang membawa mereka kembali ke Amerika Serikat.

TLR dan SLR

Kamera refleks praktis pertama adalah Frankle & Heidecke Rolleiflex TLR medium-format tahun 1928. Meskipun kedua kamera refleks single-lens dan twin-lens telah tersedia selama beberapa dekade, kamera itu terlalu besar untuk mencapai popularitas. Rolleiflex-lah yang mencapai popularitas yang luas sehingga desain format medium TLR menjadi populer untuk kamera high-end dan low-end.

Kamera bersejarah: Contax S 1949 – pentaprism SLR pertama – Sumber : Wikipedia

Revolusi serupa dalam desain SLR dimulai pada 1933 dengan pengenalan Ihagee Exakta , SLR compact yang menggunakan 127 roll film. Hal ini diikuti tiga tahun kemudian oleh SLR Barat pertama yang menggunakan 135 film , Kine Exakta (SLR 35 mm pertama di dunia adalah kamera “Sport” Soviet , dipasarkan beberapa bulan sebelum Kine Exakta, meskipun “Sport” menggunakan kartrid filmnya sendiri). Desain SLR 35mm mendapatkan popularitas langsung dan ada ledakan model baru dan fitur inovatif setelah Perang Dunia II. Ada juga beberapa TLR 35 mm, yang paling terkenal di antaranya adalah Contaflex tahun 1935.

Inovasi yang ada pada SLR adalah eye-level viewfinder, yang pertama kali muncul di Hungarian Duflex pada tahun 1947 dan disempurnakan pada tahun 1948 dengan Contax S, kamera pertama yang menggunakan pentaprism . Sebelum ini, semua SLR menggunakan waist-level focus. Duflex juga merupakan SLR pertama dengan instant-return mirror, yang mencegah viewfinder menjadi gelap oleh exposure. Pada periode yang sama munculah 1600F Hasselblad , yang menetapkan standar untuk SLR medium-format selama beberapa dekade.

Pada tahun 1952, Asahi Optical Company (yang kemudian dikenal dengan kamera Pentax-nya) memperkenalkan SLR Jepang pertama menggunakan 135 film, Asahiflex. Beberapa produsen kamera Jepang lainnya juga memasuki pasar SLR pada 1950-an, termasuk Canon, Yashica , dan Nikon. Masuknya Nikon, yaitu Nikon F, memiliki komponen dan asesoris yang dapat diganti yang menjadi sistem kamera jepang pertama. Nikon F dan seri S, yang membantu membangun reputasi Nikon sebagai produsen kamera berkualitas profesional.

Kamera Instan

Model Polaroid J66, 1961 – Sumber : Wikipedia

Sementara kamera konvensional menjadi lebih canggih, jenis kamera yang sama sekali baru muncul di pasaran pada tahun 1948. Ini adalah Polaroid Model 95, kamera instant-picture pertama di dunia. Dikenal sebagai Kamera Land setelah penemuanya oleh Edwin Land. Model 95 menggunakan proses kimia yang dipatenkan untuk menghasilkan cetakan positif yang telah selesai dari negatif yang terekspos dalam waktu kurang dari satu menit. Kamera Land cukup diminati meski harganya relatif tinggi dan jajaran Polaroid telah meluas menjadi lusinan model pada 1960-an. Kamera Polaroid pertama yang ditujukan untuk pasar populer, Model 20 Swinger of 1965, sukses besar dan tetap menjadi salah satu kamera terlaris sepanjang masa.

Otomatisasi

Kamera pertama yang mengusung eksposure otomatis yang dilengkapi dengan selenium light-meter adalah Super Kodak Six-20 pack di Tahun 1938, tetapi harganya sangat tinggi sekitar $ 225 saat itu ( setara $ 3912 untuk saat ini ). Pada tahun 1960-an, komponen elektronik berbiaya rendah merupakan hal yang biasa dan kamera yang dilengkapi dengan pengukur cahaya dan sistem exposure otomatis menjadi semakin meluas.

MEC-16 SB 16mm subminiature camera – Sumber : Wikipedia

Kemajuan teknologi berikutnya datang pada tahun 1960, ketika Mec 16 SB subminiature Jerman menjadi kamera pertama yang menempatkan pengukur cahaya di belakang lensa untuk pengukuran yang lebih akurat. Namun, pengukuran melalui lensa pada akhirnya menjadi fitur yang lebih umum ditemukan pada SLR dibandingkan jenis kamera lainnya. SLR pertama yang dilengkapi dengan sistem TTL adalah Topcon RE Super tahun 1962.

Baca JugaTop 10 Film Tentang Fotografi yang Sangat Layak Untuk Disimak

Kamera Analog

Sejarah kamera fotografi selanjutnya sampai pada tahun 1981 saat dimulainya pembuatan kamera analog, yang teknik pengambilan gambarnya masih bisa menggunakan film seluloid (klise/film negatif). Yang pertama kali membuat kamera analog ini adalah Sony Mavica.

Kamera Sony Mavica – Sumber : Wikipedia

Pada Olimpiade 1984, pertama kalinya kamera analog yang diproduksi Canon digunakan untuk memotret Yomiuri Shinbun yang hasilnya kemudian dimuat di surat kabar Jepang.

Namun seiring perjalanannya, kamera analog kurang mendapat antusias masyarakat karena biaya penggunaannya yang sangat mahal, serta kualitas gambar yang kurang baik jika dibandingkan dengan kamera lain. Aplikasi kamera analog saat ini banyak dipakai untuk kamera CCTV.

Kamera Digital

Kamera digital pertama kali dikembangkan oleh Fuji pada tahun 1988, yang menggunakan kartu memori 16 MB untuk menyimpan data foto yang diambil.

Selanjutnya kamera digital mulai dikenalkan pada masyarakat luas semenjak tahun 1989 oleh Fuji. Pada tahun 1991, dimulailah pemasaran kamera digital Kodak DCS-100 yang beresolusi 1,3 megapiksel dan ditawarkan dengan harga US$ 13.000.

Kamera Kodak DCS 100 – Sumber : Wikipedia

Format foto kamera digital mulai beralih menjadi JPEG dan MPEG yang tidak memakan banyak tempat pada penyimpanan data. Pada tahun 1995, kamera digital dengan kristal cair di bagian belakang lensa mulai dikembangkan oleh Hiroyuki Suetaka dengan nama kamera Casio QV-10.

Minolta RD-175 – Sumber : Wikipedia

Pada tahun 1995 Minolta memperkenalkan RD-175, yang didasarkan pada Minolta 500si, SLR dengan splitter dan tiga CCD independen. Kombinasi ini menghasilkan 1,75 juta piksel.

Nikon D1 – Sumber : Wikipedia

Pada tahun 1999 munculah NIkon D1, kamera 2,74 megapiksel yang merupakan SLR Digital pertama. Dimana Nikon berhasil menekan biaya produksi hingga US$ 6.000 untuk memproduksi Nikon D1. Kamera ini juga menggunakan lensa Nikon F-mount, yang berarti fotografer film dapat menggunakan banyak lensa yang sama yang sudah mereka miliki.

Sensor CMOS Canon – Sumber : digitalcamera.co.id

Penjualan kamera digital terus berkembang, didorong oleh kemajuan teknologi yang sangat pesat. Pasar kamera digital tersegmentasi ke dalam berbagai kategori, Kamera Digital Compact Still, Bridge Camera, Mirrorless Compacts dan DSLR. Salah satu kemajuan teknologi kamera digital yang paling utama adalah pengembangan sensor CMOS, yang membantu mendorong biaya produksi sensor yang cukup rendah untuk dapat di aplikasikan sebagai kamera ponsel maupun smartphone.

 

 

 

Refrensi :
Wikipedia :
History Of The Camera
Bitumen Of Judea
Ibn Al-Haytham
View From The Window At Le Gras
Camera Obscura
Mozi
Mec 16 SB
Folder Tekno : Sejarah Kamera

 

 

 

© dinprasetyo
Artikel, Sharing,

Berkarya Untuk Siapa?

Malam itu salah seorang teman mengajak untuk ngopi di salah satu cafe di Banyumanik, Semarang. Saya sempat diam sejenak ketika mendengar ajakan teman saya tersebut, karena teringat pekerjaan yang masih menumpuk dan deadline pekerjaan yang semakin dekat. Kabar baiknya, kebetulan juga sebenarnya saya ada rencana ingin bertemu dengan salah seorang teman di semarang untuk berdiskusi soal website. Akhirnya, saya terima ajakan teman saya tersebut sekaligus menemui teman saya di salah satu cafe di daerah Banyumanik, Semarang.

Seperti kebanyakan penggiat fotografi pada umumnya, saya beserta teman-teman terkadang meluangkan waktu untuk sekedar ngopi sembari rasan-rasan tentang fotografi. Hal ini sudah menjadi adat bagi kami untuk mempertahan semangat dalam berkarya dan bertukar fikiran seputar fotografi.

Copyright dinprasetyo

Copyright dinprasetyo

Pembahasan malam itu mulai menarik, ketika salah seorang teman saya mencurahkan kegundahanya tentang karya-karyanya yang menurutnya seperti tidak ada dirinya dalam karya fotografinya. Padahal, karyanaya sudah pernah menjuarai salah satu kompetisi fotografi bergengsi di indonesia yang di adakan setiap tahun. Akan Tetapi, Dia kehilangan kenikmatan dalam fotografi seperti ketika awal-awal menegnal fotografi. Dimana, dulu Dia berkarya merasa lebih nyaman tanpa terlalu memikirkan berbagai macam hal, salah satunya penerimaan dari orang lain tentang karyanya. Hal tersebut bukan berarti mencari penerimaan itu salah lho!. Semua tergantung dari tujuan kita masing-masing dalam berkarya. Contohnya, jika kita menjadi fotografer freelance maupun fotografer profesional  sudah pasti kita menghasilkan foto harus sesuai yang di harapkan oleh client kita, karena kita mendapatkan fee untuk hal tersebut.

Dalam konteks ini kita bisa melihat pada industri musik. Banyak band-band besar yang beralih dari major label ke indie label. Salah satu contohnya Sheila On 7 , Pada album ke-8 mereka yang berjudul “Musim yang Baik”, mereka lebih memilih indie label, kenapa?. Alasan utamanya, karena mereka merasa kecewa dengan major label yang mengubah konsep album ke-8 mereka berbeda jauh dari yang sudah mereka rencanakan.

Major label adalah perusahaan bisnis, wajar saja mereka seperti itu karena memang orientasi mereka adalah profit. Orientasi mereka adalah bagaimana memenuhi permintaan pasar saat ini untuk meraup profit. Sedangkan, Sheila On 7 adalah para seniman yang tidak hanya ingin mendapatkan profit saja tapi bisa menyalurkan karakter music mereka secara utuh dan terkadang mereka ingin observasi untuk lebih meng-explorasi gaya bermusik mereka dan itu tidak akan bisa jika mereka masih berada di major label yang lebih mengutamakan pasar dibandingkan nilai seni dari Sheila On 7.

Begitupun, yang dialami oleh teman saya. Dia dulu berkarya benar-benar menuruti apa yang dia suka tanpa memikirkan apakah orang suka atau tidak yang terpenting dia dapat menyalurkan cara pandangnya terhadap dunia melalui medium fotografi. Akan tetapi, setelah dia menjadi juara di salah satu perlombaan fotografi bergengsi di indonesia dia merasa hampa dalam berkarya, gundah tak tentu arah.

Permasalahan yang dialami oleh teman saya adalah konflik batin yang saya sendiri pun pernah mengalami hal sedemikian rupa. Dimana kita berkarya terlalu memikirkan penerimaan dari orang lain. Sehingga, kita berkarya tidaklah jujur. Karya kita hanya berorientasi pada jempol dari masyarakat luas. Seperti yang sudah saya sampaikan di paragraf sebelumnya diatas. Mencari pengakuan dari masyarakat luas bukanlah suatu yang salah. Setiap seniman pasti senang jika karyanya mendapatkan apresiasi positif, tetapi apakah kita dapat berdamai dengan diri kita sendiri. Karya yang kita hasilkan yang disukai banyak orang tersebut kita benar-benar suka atau tidak? Jika memang hal itu dapat berjalan selaras dangan diri dan ego kita sendiri, bahwa memang dengan seperti itu kita mendapatkan kepuasan diri. It’s No Problem! Akan menjadi masalah jika hal itu bertolak belakang.

Memang yang paling indah apabila kita berkarya dengan cara kita dan orang mengapresiasi positif hal tersebut. Akan tetapi semuanya butuh proses dan tidak instan. Kita bisa ambil kisah Thomas Alfa Edison yang bercita-cita menjadikan malam terang sebagaimana siang. Setelah beribu-ribu kali observasi, Berhasil juga apa yang dia cita-citakan. Alhasil, sampai saat ini kita merasakan buah dari masterpiece Thomas Alfa Edison dan  jika kita mendangar nama Thomas Alfa Edison pasti kita kan mengacungkan jempol padahal dulu dia dianggap gila sebelum dia berhasil menemukan bohlam.

Semua ada pada tangan kita masing-masing. Kita berkarya untuk siapa?. Untuk orang lain atau untuk diri sendiri? Apakah kita dapat berdamai dengan diri kita untuk keputusan kita tersebut? Hanya diri kita masing-masing yang dapat menjawabnya.

You cannot copy content of this page