Browsing Category

Sharing

© Galih Rudianto
Artikel, Interview, Sharing,

Galih Rudianto : Realita Kamera Analog Di Era Digital

Halo mang Galih, gimana kabarnya nih mang? dan bagaimanakah kabar Bandung dan dunia fotografinya mang?

Halo mas, baik alhamdulillah kabar keluarga dan teman-teman di Semarang baik kan?

hmm… Kalau dunia fotografi di bandung berjalan seperti biasanya, beautyshot masih banyak di gandrungi, street fotografi masih berjalan seperti biasanya.

 

© Galih Rudianto


© Galih Rudianto

 

Alhamdulillah saya dan Semarang baik mas hehe, Ngomong-ngomong masih sering motret mang?

Syukur kalau tetap pada keren mas. hehe

Kalau sering sih lagi turun-naik mood nya mas, soalnya kalau motret lagi tidak mood, tetap memaksakan jalan, suka berantakan, apalagi saya motret pake film malah jadinya buang-buang frame, jadi kalau saya di tanya, “masih sering motret?” mungkin jawabnya tergantung mood saya.

Bisa aja nih mang Galih haha, Sudah berapa lama mang Galih motret pake kamera analog/ film mang ?

Jam terbang yak wkwkw, klo motret sih dari jaman sekolah dulu cuman kalau lebih spesifik main film, kalau ga salahdari bulan september 2014.

Berarti sebelumnya pernah memakai kamera digital ya mang? gimana critanya sih mang kok tertarik dengan kamera film?

Iyaps, dulu pakainya digital D5100+50mm, kalau photowalk motret-nya banyak sampe dirumah capek sendiri kurasi file. hahaha
Belum edit belum sizing file di PC, semakin banyak akhirnya curhat nih sama senior fotografer di bandung, dia langsung memberi saran
“kalau kamu memang malas dasarnya, tapi tetap ingin motret, coba pake film, disitu kamu bisa tanggung jawab apa yg sudah kamu potret.”
Nah, dari situ perasaan ingin tahu tentang kamera film dan film nya mulai muncul, mulailah saya berburu kamera2 tua di loakan dengan cuman modal kepo. hehehe

 

© Galih Rudianto


© Galih Rudianto

 

Hal pertama yang mang galih rasakan apa, ketika awal transisi dari kamera digital ke kamera film? dan kalo boleh tahu kamera film pertama mang galih apa mang ?

Hal pertama yang saya rasakan saat transisi pasti adalah ingin cepat-cepat lihat hasil dari foto yg saya ambil dengan kamera film . Lucunya saat itu saya cuma pakai kamera Yashica GSN yang auto-nya mati otomatis speed shutter cuma 1/60 saja. Alhasil under exposure semua. hahaha

Roll film yang mang galih gunain pertama kali apa mang?

Kalau roll yang putus dan kebakar dihitung tidak? hahahaa.
Sebenernya roll pertama itu pakai Kodak Color Plus 200 tapi ditengah proses karena terlalu excited jadi putus. hahaha

Roll kedua pakai KCP juga dan pertama motret bareng fotoemperan waktu itu.

 

Nah, untuk developing film di era sekarang ini kesulitan tidak mang?

Develop film mungkin buat saya yang tinggal di Bandung, masih dibilang aman dan gampang. Tapi buat teman-teman yang lain yang pakai kamera film di luar kota yang pada dasarnya memang tidak ada lab di kotanya mungkin harus mempertimbangkan biaya cuci scan film.

Mungkin klo cuci BW bisa belajar, asal ada alat yang dipergunakan untuk proses film.
Untuk yang color soalnya tidak bisa di cuci sendiri dengan alat yg biasa di pakai buat cuci black and white.

 

© Galih Rudianto

 

Kenapa alat cuci black and white tidak bisa digunakan untuk mencuci color? Berarti cuci color black and white lebih simpel ya mang? Dan kalau boleh tahu, mang galih harus merogoh kocek berapa untuk develop satu roll film di lab?

Kenapa tidak bisa cuci color dengan alat rumahan, karena film warna suhunya harus sesuai dan ketika proses developing suhu harus stabil maka harus pakai mesin yang bisa membuat suhu tetap stabil.

Yap cuci black and white adalah yang paling wajib dipelajari kalau mau main fotografi dengan kamera film.

Sekarang rata-rata sama mau color atau black and white biaya buat cuci scan disekitar Rp. 50.000-an.
Untuk film ukuran 35mm kalau 120mm paling tambah Rp. 10.000 dari harga diatas.

Wah lumayan juga ya mang, dengan proses yang panjang dan kocek yang lumayan apa yang mang galih pertama rasakan mang?

Iya juga ya,hahaha. Mungkin hal dasar dari semua yg sudah saya lakukan, motret pake film adalah kepuasan batin saja mungkin mas, dan rasa tanggung jawab apa yang sudah saya take frame. Mau hasilnya under, over, shake, blur, missed, atau komposisi yang jelek sekalipun itu yang saya dapatkan. Face it, you cannot photograph!.
Dan d roll kedepannya harus lebih baik lagi biar tidak terbuang sia-sia uang yang sudah kita gunakan untuk membeli roll film.

 

© Galih Rudianto

© Galih Rudianto

 

Selama ini berarti dengan kamera film mang galih hanya untuk sekedar hobi ya mang, pernah tidak kefikiran ke ranah komersil? Possible tidak menurut mang galih dengan kamera film ke ranah itu?

Yap, saya motret cuma buat hobi saja mas. dan tidak ada niatan buat  sesuatu yang komersil dari kamera film saya.

Dan kalau possible, itu possible sekali kamera film dibawa ke ranah komersil. Ada kok teman yang motret komersil pakai kamera film. Kebanyakan prewed sama beauty shot, cuma kalau buat dokumentasi masih jarang pake film.

Jika kami perhatikan peminat kamera film dewasa ini malah semakin meningkat ya mang, terlihat dari komunitas-komintas kamera analog yang semakin banyak, bagaimana pendapat mang galih tentang itu?

Rame sih, beberapa bulan ke belakang penjualan film dan kamera nya meningkat drastis, dilihat dari segi harga per kamera yang di jual semakin kesini semakin mahal (demand-nya tinggi) dan karena kamera analog termasuk barang collectible jadi ga ada harga pasarannya,
“Mau ya beli, ga mampu yowis!”

Tapi masih banyak yang pakai kamera film dan tidak dibarengi sama knowledge tentang kamera film tersebut. Alih-alih cuma ikut tren dan akhirnya banyak keluhan-keluhan dari mereka.

Bicara masalah knowloedge , hal-hal apa saja yang wajib diketahui bagi pengguna kamera film/ analog mang?

Masalah dasar sekali sebenarnya ini, yaitu segitiga exposure kalau itu dikuasai pasti mau pake kamera apapun joss!.

 

© Galih Rudianto

© Galih Rudianto

 

Secara teknis penggunaan segitiga exposure di kamera analog perbedaan yang paling tampak mencolok dimana mang selain memang di analog serba manual?

Light metering yg paling jadi pembahasan utama kalau ada diskusi tentang film photography.
Karena kebanyakan kamera film manual itu sudah tua umurnya, maka terkadang jadi kurang sensitif terhadap perhitungan cahaya yang masuk ke lensa atau metering di kamera, maka ada kalanya kita harus pandai memanfaatkan alat yang lain (misal aplikasi light meter di HP atau light meter itu sendiri).

Kurang effisienya light metering tersebut apa itu tidak mengganggu kenyamanan mang galih dalam hunting foto mang ?

Kalau saya pribadi ya itu tadi ngakalin-nya pake app di HP sebelum motret. Light metering diusahakan dapet 18% grey, motret deh! Hahaha

Kalau masuk shadow tinggal kurangin speed atau diafragma kalau highlight berlimpah, vice aversa!

Tapi dulu pakai kamera yang kebetulan light meter-nya sedikit akurat jadi sedikit hafal kondisi cahaya kalau pake film tertentu.“Bisa karena terbiasa!.”

 

© Galih Rudianto

© Galih Rudianto

 

Maksud dapat 18% grey itu seperti apa, sedikit diperjelas mang ?

Kurang lebih middle gray untuk mencari correct exposure suatu scene supaya shadow tetap ada highlight tidak clipping, begitu kira-kira. Kalau mau lebih jelas bisa googling tentang greycard.

Kemudian kita berlanjut ke roll film mang ,apakah yang perlu diperhatikan ketika memilih atau mau memakai roll film mang?

Hmm… apa ya, ekonomis kali hahaha. Supaya banyak motret-nya dan tidak ada perasaan guilty kalau frame gagal.

Mungkin bisa saja kalau mau ngejar toning film A ya harus pakai film A.
Kalau buat black and white  lebih ke karakter emulsi-nya, kalau milih film ada yang fine grain ada yang grainy parah tergantung selera sihh!.

 

© Galih Rudianto

© Galih Rudianto

 

Masalah penyimpanan roll film nih mang, hal-hal apa saja yang perlu di perhatikan?

Suhu sihh!. Cukup di suhu yang stabil kalau mau disimpen di kamar, jangan kepanasan dan jangan lembab.
Kalau untuk pemakaian jangka panjang taruh di kulkas di fruit/vegie container saja cukup.

Baik mang galih, untuk ketahanan maximal sampai berapa lama sih mang ketahanan dari roll film jika kita menggunakan prosedur penyimpanan seperti yang mang galih sampaikan ?

Kalau ketahanan film biasanya ada tanggal expired-nya di film yang kita simpan, kalu sudah expired meskipun film nya kita simpan sesuai prosedur, ya jadi jelek juga emulsi-nya.

Dari seluruh roll film yang mang galih hasilkan planing mang galih apa mang kedepanya?

Wooow pertanyaanya makin sulit. Framing yg sudah ada dan film yang sudah di develop mau diapakan yaah! Hahaha.
Jujur saja saya motret masih belajar dan sekedar hobi, ya mungkin dikumpulkan saja mas. Dan lihat progres saya belajar motret dari roll ke roll. (bukan rock and roll ya!) hahahha

Soalnya gimana ya, motret masih merasa kurang.
Ada hasil-hasil printing yang dipajang di rumah dan saling tukar print sama teman-teman yg lain biasanya.

 

© Galih Rudianto

© Galih Rudianto

 

Kamera digital semakin hari semakin canggih mang, pernah tisak terfikir untuk kembali ke kamera digital lagi? Atau mang galih ingin tetap bertahan berkarya dengan kamera film ?

Mungkin kalau untuk kerja, pasti butuh teknologi terbaru. Supaya bisa mempercepat proses kerja kita jadi lebih efisien.

Tapi kalau untuk hobi. Saya mungkin bertahan di film saja. Soalnya selain saya suka barang-barang vintage, Saya juga sekarang ini belum membutuhkan kamera digital kali yah! Hahaha.
Mungkin someday kalau film sudah susah didapatkan pasti pindah ke sensor digital.

 

© Galih Rudianto

© Galih Rudianto

 

Baik mang galih, berarti intinya mang galih memilih kamera film bukan karena trend tapi memang suka dan passion-nya disitu ya mang, sekarang mungkin ada gak nih pesan-pesan buat para pengguna kamera film/analog atau yang mungkin mau nyoba berpindah ke kamera film mang galih ?

Hmm…!, Tidak menutup kemungkinan besok saya jadi pakai digital lagi tapi buat sekarang stick to film, karena masih panjang proses belajarnya, hahaha.

Pesan-pesan ya?. Waduh da saya teh siapa atuh dimintain pesan segala da masih anak bawang yang belajar motret. Hahaha.
Ya, mungkin film atau digital sama saja, semuanya cuma media saja, yang terpenting handling dari alat yg kita punya maksimalkan.

Kalau mau sekedar coba-coba dulu lebih baik pinjam dulu dengan yang punya kamera film.
Hal yang harus dipertimbangkan banyak soalnya, Jadi dari pada mengeluarkan modal untuk beli kamera mending pinjam dulu saja, dan coba rasakan kalau memang disitu passion-nya, go for it!.

 

© Galih Rudianto

Galih Rudianto

Instagram : @ssendaljepitt

 

 

© Kanal Budiarto
Artikel, Interview, Sharing,

Kanal Budiarto : Juara HIPA Hanya Bonus

Halo mas budi , apa kabar mas ?

Halo juga mas Din , kabar baik selalu mas Din.

Masih sering motret ya mas Budi?

Masih sering mas, dan tiap hari selalu bawa kamera ini mas. hehe

 

© Kanal Budiarto

© Kanal Budiarto

Berarti kerja juga mas Budi membawa kamera mas ?

Iya mas, kemana saja saya selalu membawa kamera. Siapa tahu dapat momen yang istimewa, karena sering sekali ketika tidak bawa kamera sering melihat moment-moment menarik di ruang publik jadi saya putuskan untuk membawa kamera saya kapan pun dan di mana pun. Ditambah lagi, keseharian saya bekerja di RS Kartini Jepara, di Rumah Sakit kan selalu ramai. Jadi saya sering mengamati dan kadang saya memotret tipis-tipis, pernah dapat momen tapi foto yang saya buat refleksi dan kadang hanya bermain silhouete.

 

© Kanal Budiarto

© Kanal Budiarto

 

Bagi mas Budi, fotografi itu sekedar hobi atau pekerjaan sampingan juga mas ?

Fotografi buat saya itu hobi mas, karena saya suka mengabadikan apa yang ada di sekitar saya. Karena dulu saya suka berpergian touring dengan menggunakan Vespa, melihat konser sampai luar kota.  Kemudian ada ide, wah kalo perjalanan ini tidak di dokumentasikan sayang juga. Jadi setiap saya touring selalu sewa kamera tetangga dan itu saja dulu kamera analog mas. Dulu cuma bisa asal motret aja mas. Terus di tahun 2012 saya membeli kamera DSLR Canon 1100D dan itu cuma buat foto-foto dokumentasi aja, ada teman main band ikut saya yang mendokumentasikan. ya seperti itulah kurang lebih. hahaha

 

© Kanal Budiarto

© Kanal Budiarto

Meskipun hobi tapi kemarin saya dengar mas Budi menjadi juara salah satu kompetisi foto internasional HIPA bertema My Idol ya mas ? gimana ceritanya itu mas bisa jadi juara di kompetisi foto bergengsi itu?

Alhamdulillah bulan Agustus kemaren HIPA mengadakan kompetisi foto bertema My Idol. Saya pertama niatnya cuma ikut-ikutan saja tidak tahu jika saya akan menang atau tidak yang terpenting kirim foto. Waktu buka file-file foto di laptop saya menemukan foto anak kecil sedang memegang kamera mainan yaudah saya submit foto itu saja karena saya fikir itu sesuai tema yang di adakan HIPA.

 

© Kanal Budiarto

© Kanal Budiarto

Foto yang jadi juara itu saya dapatkan sebenarnya sudah agak lama. saat saya sedang mangantar teman dari Sragen namanya Isan Yp. Dia mau motret ke tenun Troso, saat perjalanan kesana kami melewati Desa Senenan pusat kerajinan ukir relif, dan saya melihat ada orang sedang mengukir terus kami berhenti. Saya dekati bapak yang sedang mengukir dan saya ajak bercakap-cakap. Dan di samping bapak itu ada anaknya yang sedang bermain melihat ke arah saya. Tiba-tiba dia masuk ke dalam rumah ngambil kamera mainan dan kembali berjalan ke arah ayahnya yang sedang mengukir. Waktu berpose seolah-olah sedang memotret itu saya arahkan kameraku untuk mengabadikan momen tersebut Jadilah foto itu. Terus saya edit menjadi Monochrome. Kalo saya buat berwarna, warna kulit sama kayu hampir sama soalnya jadi kurang menarik menurut saya. Hehe

HIPA kalau tidak salah setiap tahun mengadakan kompetisi ya mas? sudah berapa kali mas Budi submit karya mas Budi ke HIPA ?

Tema kompetisi My Idol itu tema bulanan. Kalo bulanan sudah ikut beberapa kali. Kalo yang tahunan, untuk tahun ini saya ikut juga yang terpenting kirim saja dulu, Soal menang atau tidak itu urusan nanti yang terpenting semangat mas. hehe

 

© Kanal Budiarto

© Kanal Budiarto

 

Kalau bagi mas Budi tujuan dan motivasi mas Budi mengikuti kompetisi internasional apa mas selain mendapat apresiasi dan pengakuan mas ?

Jika pengakuan, saya yakin setiap fotografer baik mereka dari kalangan hobi maupun profesional pasti menginginkan pengakuan. Tapi bagi saya yang paling utama adalah sebagai cerita dan untuk memotivasi anak kita nanti. Bahwa kita pernah juga mendapatkan prestasi di ajang internasional dari hobi kita. Selain itu juara HIPA bagi saya hanyalah sebuah bonus, yang terpenting kita senang dulu dengan apa yang kita lakukan. Karena kita di ranah fotografi ya kita harus suka dulu dengan apa yang kita foto. Jika kita sudah benar-benar menyukai karya-karya kita dan menghargai karya kita sendiri maka orang lain pun juga nantinya akan menghargai.

 

© Kanal Budiarto

© Kanal Budiarto

Menurut mas Budi perkembangan fotografi di indonesia seperti apa mas sekarang ?

Perkembangan fotografi di Indonesia sangat bagus dan  semakin berkembang. Apalagi saat ini di dukung dengan perkembangan teknologi komunikasi yang sangat pesat sehingga kita lebih leluasa mendapatkan informasi tentang fotografi dari manapun, terutama dari media sosial dan website-website.

Harapan mas Budi apa mas, untuk perkembangan fotografi di indonesia kedepanya ?

Harapan saya untuk perkembangan fotografi di Indonesia yang pasti semakin maju. Dan masalah hak cipta foto semakin terlindungi kedepanya.

 

© Kanal Budiarto

Foto Kanal Budiarto

Facebook : https://facebook.com/budi.slankcooters

Twitter : https://twitter.com/budislank879

Instagram : http://instagram.com/kanalbudiarto & http://instagram.com/budislankcooters

 

© dinprasetyo
Artikel, Sharing,

Berkarya Untuk Siapa?

Malam itu salah seorang teman mengajak untuk ngopi di salah satu cafe di Banyumanik, Semarang. Saya sempat diam sejenak ketika mendengar ajakan teman saya tersebut, karena teringat pekerjaan yang masih menumpuk dan deadline pekerjaan yang semakin dekat. Kabar baiknya, kebetulan juga sebenarnya saya ada rencana ingin bertemu dengan salah seorang teman di semarang untuk berdiskusi soal website. Akhirnya, saya terima ajakan teman saya tersebut sekaligus menemui teman saya di salah satu cafe di daerah Banyumanik, Semarang.

Seperti kebanyakan penggiat fotografi pada umumnya, saya beserta teman-teman terkadang meluangkan waktu untuk sekedar ngopi sembari rasan-rasan tentang fotografi. Hal ini sudah menjadi adat bagi kami untuk mempertahan semangat dalam berkarya dan bertukar fikiran seputar fotografi.

Copyright dinprasetyo

Copyright dinprasetyo

Pembahasan malam itu mulai menarik, ketika salah seorang teman saya mencurahkan kegundahanya tentang karya-karyanya yang menurutnya seperti tidak ada dirinya dalam karya fotografinya. Padahal, karyanaya sudah pernah menjuarai salah satu kompetisi fotografi bergengsi di indonesia yang di adakan setiap tahun. Akan Tetapi, Dia kehilangan kenikmatan dalam fotografi seperti ketika awal-awal menegnal fotografi. Dimana, dulu Dia berkarya merasa lebih nyaman tanpa terlalu memikirkan berbagai macam hal, salah satunya penerimaan dari orang lain tentang karyanya. Hal tersebut bukan berarti mencari penerimaan itu salah lho!. Semua tergantung dari tujuan kita masing-masing dalam berkarya. Contohnya, jika kita menjadi fotografer freelance maupun fotografer profesional  sudah pasti kita menghasilkan foto harus sesuai yang di harapkan oleh client kita, karena kita mendapatkan fee untuk hal tersebut.

Dalam konteks ini kita bisa melihat pada industri musik. Banyak band-band besar yang beralih dari major label ke indie label. Salah satu contohnya Sheila On 7 , Pada album ke-8 mereka yang berjudul “Musim yang Baik”, mereka lebih memilih indie label, kenapa?. Alasan utamanya, karena mereka merasa kecewa dengan major label yang mengubah konsep album ke-8 mereka berbeda jauh dari yang sudah mereka rencanakan.

Major label adalah perusahaan bisnis, wajar saja mereka seperti itu karena memang orientasi mereka adalah profit. Orientasi mereka adalah bagaimana memenuhi permintaan pasar saat ini untuk meraup profit. Sedangkan, Sheila On 7 adalah para seniman yang tidak hanya ingin mendapatkan profit saja tapi bisa menyalurkan karakter music mereka secara utuh dan terkadang mereka ingin observasi untuk lebih meng-explorasi gaya bermusik mereka dan itu tidak akan bisa jika mereka masih berada di major label yang lebih mengutamakan pasar dibandingkan nilai seni dari Sheila On 7.

Begitupun, yang dialami oleh teman saya. Dia dulu berkarya benar-benar menuruti apa yang dia suka tanpa memikirkan apakah orang suka atau tidak yang terpenting dia dapat menyalurkan cara pandangnya terhadap dunia melalui medium fotografi. Akan tetapi, setelah dia menjadi juara di salah satu perlombaan fotografi bergengsi di indonesia dia merasa hampa dalam berkarya, gundah tak tentu arah.

Permasalahan yang dialami oleh teman saya adalah konflik batin yang saya sendiri pun pernah mengalami hal sedemikian rupa. Dimana kita berkarya terlalu memikirkan penerimaan dari orang lain. Sehingga, kita berkarya tidaklah jujur. Karya kita hanya berorientasi pada jempol dari masyarakat luas. Seperti yang sudah saya sampaikan di paragraf sebelumnya diatas. Mencari pengakuan dari masyarakat luas bukanlah suatu yang salah. Setiap seniman pasti senang jika karyanya mendapatkan apresiasi positif, tetapi apakah kita dapat berdamai dengan diri kita sendiri. Karya yang kita hasilkan yang disukai banyak orang tersebut kita benar-benar suka atau tidak? Jika memang hal itu dapat berjalan selaras dangan diri dan ego kita sendiri, bahwa memang dengan seperti itu kita mendapatkan kepuasan diri. It’s No Problem! Akan menjadi masalah jika hal itu bertolak belakang.

Memang yang paling indah apabila kita berkarya dengan cara kita dan orang mengapresiasi positif hal tersebut. Akan tetapi semuanya butuh proses dan tidak instan. Kita bisa ambil kisah Thomas Alfa Edison yang bercita-cita menjadikan malam terang sebagaimana siang. Setelah beribu-ribu kali observasi, Berhasil juga apa yang dia cita-citakan. Alhasil, sampai saat ini kita merasakan buah dari masterpiece Thomas Alfa Edison dan  jika kita mendangar nama Thomas Alfa Edison pasti kita kan mengacungkan jempol padahal dulu dia dianggap gila sebelum dia berhasil menemukan bohlam.

Semua ada pada tangan kita masing-masing. Kita berkarya untuk siapa?. Untuk orang lain atau untuk diri sendiri? Apakah kita dapat berdamai dengan diri kita untuk keputusan kita tersebut? Hanya diri kita masing-masing yang dapat menjawabnya.

Lensa Kit Fujinon
Artikel, Sharing,

Advokasi Terhadap Lensa Kit

Tulisan asli oleh Suryo Brahmantyo (@siboglou).

Anda mungkin saja sama dengan saya, mulai memotret dengan menggunakan ‘kamera serius’ sepaket dengan lensa bawaan atau lebih sering disebut lensa kit. Bagi pemula, menenteng DSLR dan lensa kit sudah cukup memupuk rasa percaya diri. Karena paling tidak, ia akan merasa fotonya akan lebih baik dari sebelumnya ketika masih menggunakan smartphone atau kamera saku. Hingga suatu saat, rasa percaya diri ini akan luntur setelah ia bertemu teman-teman komunitas foto atau menyaksikan ulasan di internet.

Ya, kadang lingkungan kita memang sekejam itu.

Perangkat pertama yang saya gunakan adalah EOS 400D, menggantikan status kepemilikan punya teman, dan lensa fix pinjaman darinya; 50mm, keduanya sama-sama terbitan Canon. Waktu itu hanya mampu mengakuisisi body kamera saja. Baru beberapa bulan kemudian, akhirnya saya membeli 18-55mm via forum jual beli di internet. Bekas pula, tentu saja. Selama beberapa tahun lensa kit ini saya gunakan untuk memotret berbagai urusan, dari kebutuhan pribadi hingga kerjaan.

Bukan Yang Terbaik

Semua sudah tahu, lensa kit bukan yang terbaik. Bahkan sebagian orang mengatakan sebaliknya. Tapi menurut saya, lensa ini cukup baik untuk proses pembelajaran. Seorang pemula harus paham apa bedanya baik dan buruk, mengapa dianggap baik, demikian pula sebaliknya. Hingga kemudian ia dapat memutuskan mana yang terbaik untuk dirinya.

Apakah lensa ini tajam? Tentu saja tidak. Jika dibandingkan dengan lensa-lensa seri premium. Untuk cetak resolusi besar akan nampak jelas perbedaannya. Namun faktanya, mayoritas fotografi di era digital hanya berakhir di internet. Diunggah di akun Facebook, Flickr, Instagram masing-masing, yang ukurannya tidak lebih dari 1 megapixel. Anda melampaui jagoan jika dapat membedakan hasil lensa kit dan lensa premium hanya dengan melihat foto yang berukuran sekecil itu.

Faktor lain yang menentukan ketajaman selain kualitas optik adalah cahaya, dan bagaimana mengolahnya. Menguasai teknik pencahayaan tidak sekedar memahami kegunaan Evaluative, Center-Weighted atau Spot Metering, tapi juga memahami bagaimana lensa yang kita merespon cahaya. Tidak akan ada lensa kit yang merasa terintimidasi dengan lensa gelang merah jika penggunanya menguasai teknik ini.

fashion Week

Fashion Week, Jakarta, 2012 | Difoto dengan lensa Canon EF-S 18–55mm f/3.5–5.6 IS USM. © Suryo Brahmantyo

Karakteristik

Biasanya sudah template, merk apapun, lensa kitnya adalah zoom dengan rentang fokal antara 18mm hingga 55mm. Walaupun tidak semua lensa kit adalah 18-55mm, tapi dengan menyebut lensa kit, orang langsung mengasosiasikannya demikian.

01. Murah

Secara alamiah, lensa kit digolongkan ke dalam lensa murah. Pabrikan kamera dan lensa tidak perlu merasa sensitif membaca kata ‘murah’. Mereka sengaja saling berlomba menjangkau pengguna DSLR baru dengan merancang lensa dengan harga seminim mungkin.

02. Panjang fokal

Dengan rentang fokal 18-55mm, seolah kita memiliki beberapa lensa fix dalam satu unit. Paling tidak, di dalamnya ada lensa dengan panjang fokal 18mm, 24mm, 28mm, 35mm, dan 55mm. Bidang pandang yang dihasilkan pada masing-masing panjang fokal, kira-kira sebanding dengan 28mm, 35mm, 50mm, dan 85mm, pada kamera full frame.

Mengambil referensi dari para fotografer internasional, banyak sekali foto berpengaruh yang dihasilkan dari lensa dengan panjang fokal di rentang 18-55mm (atau 28–85mm, pada full frame).

03. Apertur

Pada body lensa kit, biasaya tertulis kode 18–55mm ƒ/3.5–5.6; pada posisi 18mm, akan menghasilkan apertur maksimal ƒ/3.5, dan di 55mm, akan menghasilkan apertur maksimal ƒ/5.6. Untuk hasil maksimal, hanya gunakan lensa ini pada kondisi pencahayaan yang benderang.

04. Kualitas fisik

Jika Anda termasuk orang yang menilai kualitas barang dari melihat dan memegang, jangan langsung membuang lensa ini. Sabar dulu, meskipun demikian, lensa ini masih bisa berbuat sesuatu. Kadang malah cukup membantu jika Anda sedikit menepikan faktor-faktor teknis.

Kepulauan Seribu, 2015

Kepulauan Seribu, 2015 | Difoto dengan lensa Fujinon XF 18–55mm f/2.8–4 OIS. © Suryo Brahmantyo

Memaksimalkan Lensa Kit

Dalam proses mempelajari karakteristik lensa kit, biasanya kita tertarik untuk membandingkannya dengan lensa lain. Dan kemudian menghasilkan temuan-temuan baru yang cenderung menyudutkan posisi lensa kit. Hingga akhirnya, memutuskan untuk berganti lensa yang lebih baik. Ini akan menjadi masalah ketika kita dihadapkan dengan keterbatasan dana.

Tapi masa iya, lensa kit ngga ada tajam-tajamnya?

Tidak ada salahnya kita mengapresiasi segala sesuatu yang kita punya. Jangan mudah percaya dengan opini-opini miring yang beredar. Opini tidak akan pernah menjadi teori tanpa diuji dan dicoba. Dan teoripun tidak akan menjadi mutlak karena selalu ada penyesuaian.

Bagi teman-teman yang menggunakan lensa kit sebagai andalan, jangan berkecil hati dulu. Kekurangan teknis bisa ditutup dengan kekuatan konten foto yang kita hasilkan. Ini bisa didapat dengan memperbanyak literasi visual; membaca buku foto dan buku apapun yang mengandung foto. Atau bisa juga dengan membuka jendela dan pintu baru, mencoba bergaul dengan orang-orang di luar lingkungan fotografi.

Ya, karena terlalu sering berkomunitas dengan sesama fotografer hanya akan berakhir dengan mahal-mahalan alat.

 

Suryo Brahmantyo

Suryo Brahmantyo

twitter

instagram

facebook

© dinprasetyo
Artikel, Sharing,

Media Sosial Media Berkarya

Media sosial secara garis besar adalah media daring untuk saling terhubung dan berbagi informasi di dunia maya (internet). Menurut McGraw Hill Dictionary, Media sosial adalah sarana yang digunakan oleh orang-orang untuk berinteraksi satu sama lain dengan cara menciptakan, berbagi, serta bertukar informasi dan gagasan dalam sebuah jaringan dan komunitas virtual.

Dimulainya Era Sosial Media

Sejak lahirnya facebook pada tahun 2004, Mulailah babak baru dari sejarah teknologi manusia abad 21. Dimana saat itu masyarakat mulai berbondong-bondong untuk membuat akun media sosial di facebook untuk saling terhubung satu sama lain, meskipun hanya sekedar memiliki dan belum dapat memanfaatkan dengan baik.

Sebenarnya sebelum facebook sudah banyak sosial media yang lahir dimulai pada tahun 1997 sampai tahun 1999 munculah sosial media pertama yaitu Sixdegree.com dan Classmates.com. Tak hanya itu, di tahun tersebut muncul juga situs untuk membuat blog pribadi, yaitu Blogger. situs ini menawarkan penggunanya untuk bisa membuat halaman situsnya sendiri. sehingga pengguna dari Blogger ini bisa memuat hal tentang apapun.

Pada tahun 2002 Friendster menjadi sosial media yang sangat booming dan kehadirannya sempat menjadi fenomenal.

Tetapi pada tahun 1997-2002 media sosial masih belum dapat dirasakan dampaknya karena masih sedikit pengguna karena faktor alat akses yang masih begitu mahal seperti PDA, Komputer, dan Laptop.

Berbeda dengan facebook, karena kelahiran facebook di ikuti lahirnya benda canggih yang ada di genggaman orang-orang saat ini yang disebut ponsel pintar (smartphone),  seperti smartphone Blackberry, Iphone, dan Android.

Dengan lahirnya smartphone mulailah peningkatan yang nyata dari penggunaan internet di dunia. Dan semakin banyaknya perusahaan yang mengembangkan smartphone dengan harga yang relatif terjangkau. Sehingga ini menjadi kesempatan yang tepat untuk para pengembang media sosial unjuk gigi. Akhirnya mulailah bermunculan berbagai media sosial menyusul facebook  dengan berbagai karakter dan kelebihan masing-masing, seperti Instagram, LinkedIn, MySpace, Twitter, Wiser, Google+, Line, dan lain sebagainya.

Saya dan Media Sosial

Saya pribadi mulai menggunakan media sosial sekitar tahun 2009. Saat itu saya masih duduk di bangku SMA. Karena penasaran banyak teman-teman SMA saya saat itu bercerita tentang media sosila dan bertukar informasi di media sosial, saya mulai membuat akun media sosial pertama saya di friendster. Suatu pengalaman baru dalam hidup saya dimana ternyata suatu hiburan tersendiri bermain di friendster bertemu dan berkenalan dengan teman baru meski terpaut jarak yang begitu jauh tetapi saya dapat berhubungan melalui media tersebut. Setiap pulang sekolah akhirnya saya mulai sering mampir ke warnet (Warung Internet) untuk bermain friendster meski hanya sekedar update status dan mengubah tampilan profile di friendster. Tetapi itu tidak berlangsung lama, karena saya mulai mendengar tentang facebook yang saat itu mulai booming dan akhirnya saya beranjak dari frindster ke facebook.

Saya akui facebook memliki daya tarik tersendiri. Meski dengan menggunakan facebook saya tidak dapat mengubah tamplan profil saya seperti di friendster tetapi saya merasa lebih nyaman di facebook karena tampilan pengguna (user interface) yang jauh lebih minimalis di banding frindster saat itu.

by dinprasetyo

© dinprasetyo

Dari akun facebook saya mulai penasaran dengan media sosial  lain seperti twitter. Akhirmya saya mulai menggunakan twitter juga. Tapi saya belum dapat memanfaatkan media sosial secara penuh karena saat saya masih SMA saya belum mempunyai ponsel yang mendukung akses internet, alih-alih smartphone, saya hanya memiliki ponsel nokia 3315 saat itu. Sehingga untuk menggunakan sosial media saya harus pergi ke warnet atau meminjam smartphone teman saya.

Akhirnya ketika saya lulus SMA, akhir tahun 2011 saya bisa membeli smartphone pertama saya. Mulailah saya bermain sosial media setiap hari. Menambahkan teman sebanyak mungkin, baik teman dari indonesia maupun luar negeri.

Semakin sering saya menggunakan media sosial semakin memunculkan pertanyaan besar dalam benak saya. Karena semakin kesini semakin aneh, semakin banyak keluhan-keluhan yang bermunculan di timeline saya kiriman dari teman-teman saya. Banyak juga propaganda, iklan, bahkan scammer, hoax, hingga informasi-informasi tak layak yang memperkosa pengguna untuk mengkonsumsi informasi tersebut. Itu yang saya fikirkan saat itu.

Hingga sempat saya memutuskan untuk menghapus akun facebook saya sekitar tahun 2012. kemudian pada tahun 2013-2014 saya mulai menggunakan media sosial kembali. karena saya sadar perkembangan teknologi tidak dapat di hindari karena semakin hari justru semakin berkembang pesat dan menjadi suatu kebutuhan untuk saling terhubung dan mengakses informasi.

Dan pada dasarnya sosial media memiliki dua mata sperti mata pisau. Tergantung penggunanya, untuk dimanfaatkan dalam hal kebaikan yang bermanfaat atau keburukan yang merugikan. Meskipun penemuan jati diri dalam menggunakan media sosial berlangsung lama bagi saya.

Dan pada dasarnya sosial media memiliki dua mata seperti mata pisau. Tergantung penggunanya, untuk dimanfaatkan dalam hal kebaikan yang bermanfaat atau keburukan yang merugikan.

Saya merenung dan memikirkan apa yang bisa saya manfaatkan dan saya bagikan di sosial media yang sekiranya itu bermanfaat bagi saya dan orang-orang yang terhubung dengan saya. Saya sadar saya tidak memilik paras yang tampan sehingga tidak dapat bersosial media seperti para artis media sosial. Saya juga tidak ahli dalam berpamer kemewahan karena hidup saya tidak lah mewah dan menurut saya kurang bijak juga jika saya berpamer kemewahan melalui sosial media karena itu sangat berbahaya, karena dapat menumbuhkan kecemburuan bagi pengguna internet, Dan kecemburan itu bisa mengakibatkan tindakan-tindakan menyimpang karena ingin merasakan kemewahan dengan cara instan.

Dalam perenungan itu akhirnya saya menemukan jawaban dari kerisauan saya dalam bermedia sosial yaitu “karya”. Memanfaatkan media sosial untuk ajang berbagi karya, dan menggali potensi yang ada dalam diri. Mulailah saya memikirkan karya apa yang bisa saya buat. Saya memulai dari apa yang saya sukai. Saya terus menggali dan ingat dulu sewaktu SMA say suka dengan musik, membentuk band dan ikut festival band di daerah. Akhirnya saya memutuskan untuk membuat lagu. Berbulan-bulan saya mempelajari aplikasi untuk membuat lagu secara otodidak akhirnya sekitar tahun 2014 saya berhasil membuat satu lagu EDM dengan aplikasi frutyloop, yang kemudian saya unggah di soundcloud.

Karena keterbatasan alat, saya hanya memiliki komputer pentium 4 dengan ram 512 mb, yang saya dapat dari saudara saya. Sehingga saya rasa itu sulit untuk saya saat itu dengan kondisi yang serba terbatas. Akhir tahun 2015 saya baru menemukan jawaban yang menurut saya itu cocok untuk saya yaitu photography. Berawal dari saudara saya Iwan Resdianto, yang sering sibuk sendiri ketika liburan dengan saya untuk mendapatkan foto yang bagus yang selalu dia unggah di instagram, membuat saya mulai ikut mencoba menggunakan instagram.

Hanya foto-foto liburan dengan editing berlebihan dengan warna yang ke kuning-kuningan yang saya unggah di instagram. Sering mengikuti akun-akun di instagram dengan karya foto yang lebih bagus dari foto saya adalah pilihan saya untuk belajar meningkatkan karya foto saya, saat itu. Sehingga bertemulah saya dengan akun instagram Ilham setyawan. Dia adalah teman dari Iwan dan menurut saya saat itu karya-karya ilham bagus sekali. Sehingga saya menelusuri tentang siapa sebenarnya ilham setiawan. Dari informasi yang saya dapat dari Iwan, ilham bergabung di suatu komunitas fotografi berbasis instagram di semarang. Hal itu terdengar sangat bagus dan cerdas bagi saya. Dimana mencari kelompok yang memiliki ideologi yang sama, hoby yang sama untuk belajar, berbagi ilmu, dan pengalaman.

by dinprasetyo

© dinprasetyo

Akhirnya saya memutuskan untuk bergabung di komunitas yang sama dengan komunitas ilham. Dari sini mulailah perjalanan saya di dunia fotografi. Dan semenjak saya terjun untuk memilih berhobi di dunia fotografi menjadikan saya bersemangat berbagi karya di media sosial.

Dan semakin hari semakin banyak saya bergabung dengan komunitas-komunitas fotografi berbasis online, sehingga bertemulah saya dengan orang-orang hebat seperti Udatommo, Chris Tuarissa,  yang membimbing saya hingga karya-karya saya jauh lebih baik daripada awal-awal saya menggunakan instagram.

Semakin banyak teman sehobi yang saya temui semakin ilmu saya bertambah dan memantapkan saya untuk terus berkarya dan berkarya. Meskipun belum ada prestasi yang tampak dari karya fotografi saya, tetapi mengahasilkan foto yang jauh lebih baik dari foto terdahulu dan membagikan karya di sosial media dengan konsisten sudah termasuk hal yang harus saya syukuri dari hidup saya. Karena setidaknya kita telah membantu menebar benih-benih kreatifitas di media sosial, bukan hanya sekedar mengadu domba, dan menyebarkan konten negatif di media sosial.

 

Kesimpulan

Teknologi semakin hari semakin berkembang. Internet menjadi kebutuhan yang tak dapat di pungkiri. Hal itu mendukung peningkatan pengguna sosial media yang semakin bertambah. Dengan memanfaatkan media sosial sebagai media untuk berkarya dan menggali potensi dalam diri memungkinkan untuk menjadikan media sosial di penuhi dengan orang-orang kreatif dengan berbagai keahlian.

 

 

 

 

 

 

Suryo Brahmantyo - siboglou 05
Artikel, Sharing,

Menata Ulang Idealisme

Tulisan asli oleh Suryo Brahmantyo (@siboglou)
All photos in this article copyrighted by Suryo Brahmantyo

Jujur saja, dulunya saya termasuk ke dalam golongan orang yang malas bekerja. Dalam hal ini, bekerja saya artikan sebagai aktivitas memenuhi kebutuhan lahir. Bertahun-tahun menjalani kebanalan dunia korporasi nyaris tanpa mendapatkan kepuasan batin. Selalu ada saja hal-hal yang sengaja saya hadirkan untuk dibanding-bandingkan.

Guna menyeimbangkan, saya menggeluti fotografi sebagai hobi, sebuah aktivitas yang dilakukan manusia untuk tujuan kesenangan. Bermain-main layaknya anak kecil yang tidak mengenal tagihan. Di sini saya menemukan sebuah manifestasi yang sebelumnya belum saya kenal. Dua aktivitas pemenuhan kebutuhan lahir dan batin ini saya jalani berbarengan selama beberapa saat. Walaupun antara profesi dan hobi, masing-masing berseberangan bagai utara dan selatan, saya berusaha memegang kendali atas keduanya dengan berdiri di tengah-tengah.

 

Suryo Brahmantyo - siboglou 04

© Suryo Brahmantyo

 

Lama-kelamaan, saya lelah juga. Saya tidak mampu untuk memecah konsentrasi atas dua kutub kebutuhan ini. Efeknya, menoleh ke kiri dan kanan secara simultan membuat saya tidak fokus melihat ke depan. Sempat terpikir untuk meletakkan status pekerja kantoran, dan fokus mengubah hobi menjadi profesi, namun faktanya karya saya hanya bisa dinikmati untuk diri sendiri. Karena saya dianggap terlalu idealis dalam berkarya.

Idealis, idealisme. Kata-kata itu terus mengganggu. Hingga tidak bisa menghitung berapa cangkir kopi yang saya habiskan selama memutar-putar kepala. Hingga akhirnya saya memilih jalan keluar untuk menggunakan kata kunci ‘idealisme’ sebagai konsep dasar dalam membuat karya foto. Makna idealisme yang selama ini beredar di sekitar, menurut saya, lebih dekat ke egoisme. Cenderung subjektif dan kaku.

 

Suryo Brahmantyo - siboglou 06

© Suryo Brahmantyo

 

Saya memaknai idealisme sebagai bentukan dari kata dasar ideal. Sedangkan idealisme, kembali menurut saya, adalah sebuah usaha untuk mencapai sesuatu yang ideal. Anda mungkin akan mencibir, mana ada di dunia ini yang benar-benar ideal. Saya sepakat. Mungkin saja Anda benar. But the name also effort. Namanya juga usaha. Kita tidak akan pernah tahu jika tidak mencobanya. Yakin dulu saja. Lagi pula, ideal itu juga subjektif. Masih mengandung unsur ‘menurut teori apa’ atau ‘menurut siapa’.

Lalu apa ideal sendiri itu apa? Baiklah, sebelumnya saya harus berterima kasih kepada bagian diri saya yang lainnya karena telah mempertanyakan itu. Ideal merupakan hasil dari kesepakatan. Dalam hal bekerja, kesepakatan antara produsen dan konsumen demi tercapainya win-win solution. Saya senang, Anda juga senang. Ya, kurang lebih demikian makna idealisme bagi saya. Untuk mewujudkannya memang tidak akan semudah membalikkan tempe dalam wajan. Tapi saya percaya, solusi bersama akan jauh lebih mudah diraih ketika masing-masing pihak punya inisiatif untuk berkompromi.

Dengan membawa idealisme sebagai modal, saya membentuk sebuah usaha untuk merekrut tim, berkompromi dan berkarya bersama untuk mencapai efektivitas komunikasi dengan khalayak banyak.

Bintaro,
Mei 2016

 

Suryo Brahmantyo

Suryo Brahmantyo

twitter

instagram

facebook

Suryo Brahmantyo - siboglou 01
Artikel, Sharing,

Kritik Vs Apresiasi

Tulisan asli oleh Suryo Brahmantyo (@siboglou)
All photos in this article copyrighted by Suryo Brahmantyo

 

Sebuah kutipan dari dosen Tomi Saputra (Udatommo) yang saya kutip dari tulisannya di blog, beliau udatommo.com berkata seperti ini:

Ketika kamu berkarya tidak perlu selalu mendengar kritik atau masukan dari orang lain. Belum tentu kritik itu benar. Bisa saja orang tersebut hanya iri dengan bagusnya karya kamu, atau bisa juga karena mereka tidak mengerti tentang karya kamu.

Kemudian Uda melanjutkan :

Tidak jarang kritikan yang masuk kepada anda bernada mendikte. Karya anda adalah diri anda sendiri, tidak ada orang lain yang mengenal karya tersebut kecuali anda sendiri.

Sejenak saya teringat ketika seorang teman bicara tentang budaya kritik di negeri ini. Ia bilang bahwa kritik cenderung dimaknai sebagai sebuah kecaman atau opini yang mengandung unsur ketidak sepakatan terhadap seseorang atau sesuatu. Berbeda dengan kritik yang diterapkan oleh orang Eropa. Kritik, bagi mereka merupakan proses pemahaman terhadap sesuatu (misalnya; film dan musik). Mungkin saja benar bahwa ada perbedaan makna ‘kritik’ antara di sini dan di sana. Jika menilik pada penjelasannya, saya punya kosakata yang lebih pas; apresiasi.

Namun sepertinya apresiasi juga belum menjadi budaya populer di Indonesia. Di beberapa belahan lain di negeri ini, ada yang harus tumbuh dan berkembang dengan terpaan badai kritik yang cenderung mengecam. Ini bukan perkara salah atau benar, hanya saja orang seperti Andrew Neiman tidak benar-benar nyata. Yang menyedihkan jika mendapati seorang teman memutar haluan, memutuskan untuk drop out dari sebuah institusi pendidikan hanya karena dianggap tidak becus berkarya. Hal yang penting untuk disoroti di sini adalah soal alokasi waktu; berapa lama yang telah terbuang dan berapa lama yang dibutuhkan untuk belajar hal baru.

 

Suryo Brahmantyo - siboglou 03

© Suryo Brahmantyo

 

Melompat ke waktu lain. Di sebuah Minggu pagi, ketika itu saya berada di tengah sebuah diskusi fotografi. Dengan memanfaatkan lokasi di sebuah kedai makan, beberapa orang bergilir mempresentasikan karya hasil perburuan masing-masing beberapa jam sebelumnya. Dan pada bagian akhir, memberikan kesempatan kepada audiens untuk berkomentar.

Pada bagian akhir tersebut membuat saya kurang nyaman karena kekhawatiran saya terbukti benar. Sebuah forum yang tadinya saya harapkan menjadi wadah apresiasi justru menjadi ajang penilaian layaknya kontes adu bakat di televisi. Masukan-masukan yang disampaikan audiens cenderung sepihak. Kritik yang terlontarpun jamak bernada mendikte; memberikan rekomendasi untuk melakukan sesuatu seperti yang ia lakukan terhadap dirinya, terhadap karyanya — bahkan tanpa diminta.

 

Suryo Brahmantyo - siboglou 02

© Suryo Brahmantyo

 

Sekilas hal ini memang remeh-temeh. Kritik, dalam hal ini sama seperti lemak pada tubuh; tidak banyak yang memperhatikan keberadan dan fungsinya. Keduanya sama-sama dapat memberikan efek negatif jika berkekurangan dan berkelebihan. Dengan porsi dan kondisi yang tepat, kritik juga dapat memberikan energi tertentu. Apa yang dilakukan Terence Fletcher terhadap Andrew Neiman dapat menjadi contoh.

Setiap orang memiliki pandangan masing-masing, dan tentu saja caranya pun beragam. Bisa jadi kontras dengan yang biasa kita lakukan. Dengan melihat karya orang lain dari sudut pandang sendiri bukan saja menjadikan kita egois, tapi juga menumpulkan pikiran untuk merangsang pertanyaan-pertanyaan. Terjawab atau tidak, itu bukan yang terpenting, karena klimaksnya ada pada pertanyaan yang terlontar.

 

Suryo Brahmantyo

Suryo Brahmantyo

twitter

instagram

facebook

© Andryaniade
Artikel, Interview, Sharing, Street photography,

Street Photography Sharing : Andryaniade

Perkenalkan nama saya ade Andryani. Saya tinggal di Jakarta. Pada kesempatan kali ini saya ingin membagikan pengalaman saya di dunia street photography yang sudah saya geluti selama ini.

Kenapa Street Photography?

Banyak yang bertanya pada saya “loh mbak ade kan cewek kok memilih street photography kan pada umumnya kalo cewek tuh suka sama genre foto yang syarat akan keindahan seperti landscape atau modeling, apa sih mbak alasanya kenapa mbk ade memilih street photography sebagai hobi yang digeluti mbk ade saat ini ?” hehe. mungkin itu pertanyaan yang sering terlontar dari teman-teman saya. langsung aja ya biar tidak terlalu panjang pembahasanya kasihan masdin yang ngetik hahaha. oke “kenapa street photography?” . Alasanya karena pada street photography saya menemukan kesenangan dalam mengabadikan moment-moment di sekitar saya . Dulu saya mulai mengabadikan moment di jalanan dengan menggunakan kamera Smartphone. Mungkin itu alasan kedua saya kenapa memilih street photography karena cenderung lebih simple dalam hal kamera bahkan ada juga teman-teman saya yang mengabadikan moment dengan kamera analog.

Kemudian Alasan yang lain , Street Photography bisa dikatakan unik. Di tempat yang sama di waktu yang berbeda kita akan menemukan moment-moment yang berbeda yang kebetulan terjadi. Dalam hal ini tentu saja keadaan maupun subject yang kita abadikan pastilah jujur karena kita tidak men-direct  atau merekayasa moment dan subject kita yang apa adanya yang kita abadikan secara spontan.

Namun tidak jarang pula kita bisa menebak hal apa yang akan terjadi dalam kejadian yang biasa terjadi sehari-hari, Sehingga kita bisa merasakan kapan kita akan menekan tombol shutter dan memaksimalkan foto yang akan kita abadikan.

Dalam Street Photography hal lain yang saya sukai yaitu kita bisa memotret di manapun di ruang publik, Seperti di jembatan umum, saat kita berada di warung ataupun ketika sedang di mall dsb.  hal inilah yang paling menarik bagi saya.

Bagaimana pendekatan dalam Street Photography?

 

Dulu saat saya masih menggunakan kamera smartphone, Saya lebih sering mengambil foto dengan cara candid. Hal ini dikarenakan ukuran smartphone yang kecil di banding kamera DSLR maupun mirrorless sehingga tidak begitu menarik perhatian subject di sekitar kita sehingga saya lebih mudah menyesuaikan saat pengambilan foto.

Namun setelah saya mulai menggunakan kamera DSLR, disitulah saya baru merasakan betapa usahnya dalam pendekatan tersebut. Masih malu-malu dan terkesan mencuri foto , Itulah yang saya rasakan di awal saya mulai menggeluti street photography. Dan setelah saya meyakinkan diri dan mendapatkan motivasi dari teman-teman saya , Saya berusaha untu lebih berani dalam mengambil foto , berusaha berfikir positif dan tersenyum adalah kunci terpenting yang menjadi modal awal agar subject tidak merasa risih ataupun terganggu. Bahkan jika perlu ajaklah subject tersebut berinteraksi agar foto kita lebih hidup dan bercerita.

Nah berikut ini akan saya perlihatkan beberapa karya saya ,

© Andryaniade

© Andryaniade

Foto di atas foto yang saya ambil secara spontan / Decisive moment.

© Andryaniade

© Andryaniade

Foto di atas foto dengan komposisi layering yang saya ambil dengan mengamati aktifitas mereka terlebih dahulu ,

© Andryaniade

© Andryaniade

Foto di atas foto dengan low angle atau sering dikenal dengan istilah congkel.

© Andryaniade

© Andryaniade

Foto di atas contoh foto dengan High Angle atau sudut pengambilan dari atas

Sebenarnya ada banyak sekali teknik dan komposisi dalam street photography tapi saya tidak akan memaparkan secara rinci karena nanti artikel ini jadi terlalu panjang mungkin beberapa foto saja.

Prestasi atau penghargaan apa saja yang sudah pernah di raih selama menggeluti dunia Street Photography?

hahaha Sebenarnya saya sedikit sungkan jika membahas masalah ini tapi baiklah saya akan sedikit ceritakan. Untuk penghargaan waktu itu pernah mengikuti Lomba Foto di ajang JSPI (Jambore Street Photography Indonesia) 2016 yang waktu itu diselenggarakan di bandung dan kebetulan saya mendapat juara ke 3. Pernah juga menjadi nominasi di ajang World Street Photography 2016 dan 2017. Mungkin itu yang saya ingat hahaha.

Adakah tips untuk teman-teman yang baru memulai menggeluti Street Photography?

Untuk tips buat temen-temen yang mau menggeluti atau baru mulai menggeluti street photography , Mungkin sering-seringlah buat motret di ruang publik, Jelilah melihat situasi kalau istilah anak jaman sekarang gercep melihat keadaan hahaha. Dan cobalah memotret di satu tempat setiap hari selama seminggu, biasanya efektif untuk melihat perkembangan foto kita, Misal motret gang di deket rumah , Foto hari pertama without people / tanpa subject, Besoknya lagi Multiple subject dst. intinya observasilah, Nanti jika gagal atau kurang memuaskan hasilnya , Cobalah lagi dan jangan menyerah. hehe.

 

Akun instagram mbak ade?

Baik sebagai penutup saya share akun instagram saya mungkin bagi temen-temen yang mau bertanya atau bersilaturahmi dengan saya bisa langsung DM saja akun IG saya yaitu @andryaniade  

Mungkin sekian sharing dari saya terimkasih banyak buat temen-temen yang mau membaca sharing saya ini semoga bermanfaat , Salam Street Photography Indonesia!