Tulisan asli oleh Suryo Brahmantyo (@siboglou)
All photos in this article copyrighted by Suryo Brahmantyo
Sebuah kutipan dari dosen Tomi Saputra (Udatommo) yang saya kutip dari tulisannya di blog, beliau udatommo.com berkata seperti ini:
Ketika kamu berkarya tidak perlu selalu mendengar kritik atau masukan dari orang lain. Belum tentu kritik itu benar. Bisa saja orang tersebut hanya iri dengan bagusnya karya kamu, atau bisa juga karena mereka tidak mengerti tentang karya kamu.
Kemudian Uda melanjutkan :
Tidak jarang kritikan yang masuk kepada anda bernada mendikte. Karya anda adalah diri anda sendiri, tidak ada orang lain yang mengenal karya tersebut kecuali anda sendiri.
Sejenak saya teringat ketika seorang teman bicara tentang budaya kritik di negeri ini. Ia bilang bahwa kritik cenderung dimaknai sebagai sebuah kecaman atau opini yang mengandung unsur ketidak sepakatan terhadap seseorang atau sesuatu. Berbeda dengan kritik yang diterapkan oleh orang Eropa. Kritik, bagi mereka merupakan proses pemahaman terhadap sesuatu (misalnya; film dan musik). Mungkin saja benar bahwa ada perbedaan makna ‘kritik’ antara di sini dan di sana. Jika menilik pada penjelasannya, saya punya kosakata yang lebih pas; apresiasi.
Namun sepertinya apresiasi juga belum menjadi budaya populer di Indonesia. Di beberapa belahan lain di negeri ini, ada yang harus tumbuh dan berkembang dengan terpaan badai kritik yang cenderung mengecam. Ini bukan perkara salah atau benar, hanya saja orang seperti Andrew Neiman tidak benar-benar nyata. Yang menyedihkan jika mendapati seorang teman memutar haluan, memutuskan untuk drop out dari sebuah institusi pendidikan hanya karena dianggap tidak becus berkarya. Hal yang penting untuk disoroti di sini adalah soal alokasi waktu; berapa lama yang telah terbuang dan berapa lama yang dibutuhkan untuk belajar hal baru.
Melompat ke waktu lain. Di sebuah Minggu pagi, ketika itu saya berada di tengah sebuah diskusi fotografi. Dengan memanfaatkan lokasi di sebuah kedai makan, beberapa orang bergilir mempresentasikan karya hasil perburuan masing-masing beberapa jam sebelumnya. Dan pada bagian akhir, memberikan kesempatan kepada audiens untuk berkomentar.
Pada bagian akhir tersebut membuat saya kurang nyaman karena kekhawatiran saya terbukti benar. Sebuah forum yang tadinya saya harapkan menjadi wadah apresiasi justru menjadi ajang penilaian layaknya kontes adu bakat di televisi. Masukan-masukan yang disampaikan audiens cenderung sepihak. Kritik yang terlontarpun jamak bernada mendikte; memberikan rekomendasi untuk melakukan sesuatu seperti yang ia lakukan terhadap dirinya, terhadap karyanya — bahkan tanpa diminta.
Sekilas hal ini memang remeh-temeh. Kritik, dalam hal ini sama seperti lemak pada tubuh; tidak banyak yang memperhatikan keberadan dan fungsinya. Keduanya sama-sama dapat memberikan efek negatif jika berkekurangan dan berkelebihan. Dengan porsi dan kondisi yang tepat, kritik juga dapat memberikan energi tertentu. Apa yang dilakukan Terence Fletcher terhadap Andrew Neiman dapat menjadi contoh.
Setiap orang memiliki pandangan masing-masing, dan tentu saja caranya pun beragam. Bisa jadi kontras dengan yang biasa kita lakukan. Dengan melihat karya orang lain dari sudut pandang sendiri bukan saja menjadikan kita egois, tapi juga menumpulkan pikiran untuk merangsang pertanyaan-pertanyaan. Terjawab atau tidak, itu bukan yang terpenting, karena klimaksnya ada pada pertanyaan yang terlontar.