Tulisan asli oleh Suryo Brahmantyo (@siboglou)
All photos in this article copyrighted by Suryo Brahmantyo
Jujur saja, dulunya saya termasuk ke dalam golongan orang yang malas bekerja. Dalam hal ini, bekerja saya artikan sebagai aktivitas memenuhi kebutuhan lahir. Bertahun-tahun menjalani kebanalan dunia korporasi nyaris tanpa mendapatkan kepuasan batin. Selalu ada saja hal-hal yang sengaja saya hadirkan untuk dibanding-bandingkan.
Guna menyeimbangkan, saya menggeluti fotografi sebagai hobi, sebuah aktivitas yang dilakukan manusia untuk tujuan kesenangan. Bermain-main layaknya anak kecil yang tidak mengenal tagihan. Di sini saya menemukan sebuah manifestasi yang sebelumnya belum saya kenal. Dua aktivitas pemenuhan kebutuhan lahir dan batin ini saya jalani berbarengan selama beberapa saat. Walaupun antara profesi dan hobi, masing-masing berseberangan bagai utara dan selatan, saya berusaha memegang kendali atas keduanya dengan berdiri di tengah-tengah.

Lama-kelamaan, saya lelah juga. Saya tidak mampu untuk memecah konsentrasi atas dua kutub kebutuhan ini. Efeknya, menoleh ke kiri dan kanan secara simultan membuat saya tidak fokus melihat ke depan. Sempat terpikir untuk meletakkan status pekerja kantoran, dan fokus mengubah hobi menjadi profesi, namun faktanya karya saya hanya bisa dinikmati untuk diri sendiri. Karena saya dianggap terlalu idealis dalam berkarya.
Idealis, idealisme. Kata-kata itu terus mengganggu. Hingga tidak bisa menghitung berapa cangkir kopi yang saya habiskan selama memutar-putar kepala. Hingga akhirnya saya memilih jalan keluar untuk menggunakan kata kunci ‘idealisme’ sebagai konsep dasar dalam membuat karya foto. Makna idealisme yang selama ini beredar di sekitar, menurut saya, lebih dekat ke egoisme. Cenderung subjektif dan kaku.

Saya memaknai idealisme sebagai bentukan dari kata dasar ideal. Sedangkan idealisme, kembali menurut saya, adalah sebuah usaha untuk mencapai sesuatu yang ideal. Anda mungkin akan mencibir, mana ada di dunia ini yang benar-benar ideal. Saya sepakat. Mungkin saja Anda benar. But the name also effort. Namanya juga usaha. Kita tidak akan pernah tahu jika tidak mencobanya. Yakin dulu saja. Lagi pula, ideal itu juga subjektif. Masih mengandung unsur ‘menurut teori apa’ atau ‘menurut siapa’.
Lalu apa ideal sendiri itu apa? Baiklah, sebelumnya saya harus berterima kasih kepada bagian diri saya yang lainnya karena telah mempertanyakan itu. Ideal merupakan hasil dari kesepakatan. Dalam hal bekerja, kesepakatan antara produsen dan konsumen demi tercapainya win-win solution. Saya senang, Anda juga senang. Ya, kurang lebih demikian makna idealisme bagi saya. Untuk mewujudkannya memang tidak akan semudah membalikkan tempe dalam wajan. Tapi saya percaya, solusi bersama akan jauh lebih mudah diraih ketika masing-masing pihak punya inisiatif untuk berkompromi.
Dengan membawa idealisme sebagai modal, saya membentuk sebuah usaha untuk merekrut tim, berkompromi dan berkarya bersama untuk mencapai efektivitas komunikasi dengan khalayak banyak.
Bintaro,
Mei 2016
